Kamis, 04 Februari 2010

URGENSI IJTIHAD SAINTIFIK DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM TRANSAKSI KONTEMPORER Nur Kholis

URGENSI IJTIHAD SAINTIFIK DALAM
MENJAWAB PROBLEMATIKA HUKUM TRANSAKSI KONTEMPORER

Nur Kholis

Abstract
The article below traces to find the urgency of saintific ijtihad to solve Islamic law problems of contemporary transaction (mu’amalah mu’asirah) in the age of globalization. The age of globalization supported by information technologies revolusion makes all aspects of human life changes rapidly especially in economic activities. Many kinds and aspects of transaction that human did not think many years ago, occur in this era, for instance insurance, electronic banking, e-commerce, capital market, unit trust, etc. All forms of transaction in this era need to be solved and justified by Islamic law in order to all muslims in the world can participate in economic activities among other people at the global era.
Islam as the last religion revealed by Allah SWT has many tools to anticipate and solve contemporary problems occurring in the global era. Al-Qur’an and al-Sunnah as the main sources of Islamic law provide tools to make Islamic teachings always suitable for all time, namely by saintific ijtihad. By doing saintific ijtihad to solve contemporary transaction problems in this global era will make Islamic law always appropriate whenever and wherever.

1. Pengantar

Era globalisasi (the age of globalization), dalam beberapa literature dinyatakan bermula pada dekade 1990-an. Era ini ditandai, diantaranya dengan adanya fenomena penting dalam bidang ekonomi. Kegiatan ekonomi dunia tidak hanya dibatasi oleh faktor batas geografi, bahasa, budaya dan ideologi, akan tetapi lebih karena faktor saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Dunia menjadi seakan-akan tidak ada batas, terutama karena perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Keadaan yang demikian melahirkan banyak peluang sekaligus tantangan, terutamanya dalam hal transaksi (muamalah) kepada semua pihak, termasuk umat Islam.
Proses globalisasi diperkirakan semakin bertambah cepat pada masa mendatang, sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rose bahwa dunia sedang berubah dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kehidupan masyarakat termasuk kehidupan hukum dan ekonominya menjadi semakin kompleks.
Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang muamalah Islam yang belakangan muncul misalnya zakat profesi, asuransi, praktek perbankan elektronik, pasar modal, bursa efek, reksadana, e-commerce dan lain-lain. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah SAW sebagai Rasul terakhir telah wafat, dan al-Qur’an telah tamat. Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporeri dalam era globalisasi dijawab secara gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Walaupun sebagian persoalan-persoalan yang muncul kontemporeri telah dibincangkan oleh ulama terdahulu, tetapi kasus dan kondisinya tidak sama persis, sehingga perlu kajian lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era globalisasi, sehingga terbuktilah bahwa Islam adalah salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).
Artikel ini akan membincangkan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalam hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer.

2. Ijtihad Saintifik: Pengertian, Posisi Teks, Kekuatan Hukum, dan Rasional Urgensinya

Pengertian Ijtihad Saintifik

Kata ijtihad berasal dari kata jahada, kata ini beserta derivasinya berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan.” Perkataan ini menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
Kata ijtihad mempunyai makna khusus dalam Islam, yaitu pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum Syarak yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui. Dalam definisi yang lain disebutkan, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Menurut Fazlur Rahman, ijtihad refers to the striving of the jurists to the point of mental exhaustion to derive principle and rules of law from evidence found in the sacred texts of sources.
Sedangkan saintifik bermakna menurut atau berdasar ilmu pengetahuan. Biasanya dihasilkan melalui penelitian dengan menerapkan metode ilmiah tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ijtihad saintifik merupakan suatu upaya pencurahan segala kemampuan oleh seorang yang mempunyai kelayakan ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk mendapatkan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer dengan berdasarkan sumber-sumber hukum yang diakui oleh Syarak.

Posisi Teks dalam Ijtihad Saintifik

Sumber hukum yang fundamental dalam hukum Islam adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah (teks). Al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad SAW yang merupakan Rasulullah terakhir, dan syariatnya adalah syariat yang terakhir. Sedangkan al-Sunnah merupakan penjelas terhadap hukum-hukum al-Qur’an, walau terkadang juga menentukan hukum baru. Dengan demikian syariat Islam adalah syariat yang akan berlaku hingga akhir zaman, oleh karena itu dalam teks tersebut terkandung nilai-nilai dan ajaran yang memungkinkannya berlaku hingga akhir zaman.
Di antaranya adalah bahwa dalam al-Qur’an dan al-Sunnah terdapat dua jenis hukum-hukum, yaitu: (1) hukum-hukum qat‘iyyat yang ditegaskan oleh dalil, kekukuhannya tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu, tidak boleh ber-ikhtilaf terhadapnya, tidak boleh ditolak atau diterima berdasarkan ijtihad semata-mata. Jenis inilah yang disebut oleh para pemikir sebagai hukum Islam dalam makna Syariah. (2) hukum-hukum yang tidak ditetapkan secara jelas dan qat‘i baik periwayatannya maupun artinya (hukum zanniyyat yang bersifat interpretable). Hukum-hukum ini dipahami karena adanya isyarat yang menunjuk ke arah itu, sehingga timbul perbedaan paham, perbedaan sudut pandang, baik karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupun penunjukan hukumnya.
Jenis hukum yang kedua inilah area untuk berijtihad, sehingga dari sinilah muncul penalaran, pemikiran, pen-tarjih-an, penelaahan, perkiraan kemaslahatan, kebaikan, serta perubahan keadaan yang mungkin menimbulkan perbedaan. Interpretasi terhadap jenis hukum yang kedua inilah disebut fiqh. Dalam melakukan interpretasi terhadap hukum-hukum zanniyyat itu diperlukan suatu penalaran ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu, agar kesimpulannya nanti memiliki bobot ilmiah yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah ijtihad saintifik yang diperlukan pada era global saat ini. Akan tetapi, tetap harus diingat bahwa nilai kebenaran yang dihasilkan tetap bersifat relatif, liberal, terbuka untuk diuji dan dikaji ulang serta terbuka untuk dikritik. Berbeda dengan hukum qat‘i yang bersifat mutlak dan otoritatif.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan teks dalam ijtihad saintifik adalah sebagai sumber hukum yang bersifat mutlak dan otoritatif, sedangkan hasil ijtihad saintifik tergolong dalam hukum fiqh yang bersifat relatif, liberal, terbuka untuk diuji dan dikaji ulang serta terbuka untuk dikritik.

2.3. Kekuatan Hukum Hasil Ijtihad Saintifik

Penelusuran terhadap sejarah tasyri‘ al-islami menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menggalakkan umatnya untuk berijtihad. Ini misalnya terungkap dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Mu‘az bin Jabal. Sewaktu Rasul SAW hendak mengutus Mu‘az bin Jabal r.a untuk menjadi hakim di daerah Yaman, beliau sempat berdialog dengan Mu‘az sebagai berikut:
Rasulullah: “Bagaimana (cara) kamu menyelesaikan perkara jika kepadamu diajukan suatu perkara?”.
Mu‘az: “Aku akan putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an”.
Rasulullah: “Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitab Allah?”
Mu‘az: “Aku akan putuskan menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasul”.
Rasulullah: “Kalau tidak (juga) kamu jumpai dalam Sunah Rasul dan tidak pula dalam Kitab Allah?”.
Mu‘az: “Aku akan berijtihad dengan seksama”.
Kemudian Rasulullah SAW pun mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk dada Mu‘az seraya beliau bersabda, “Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasul-Nya jalan yang diridai Rasul Allah”.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW memberikan tempat yang mulia kepada mujtahid, walaupun ia salah dalam berijtihad. Dari ‘Amr bin al-‘As r.a., ia mendengar Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya, maka untuknya satu pahala”.
Dari dua hadis tersebut tergambar bagaimana kekuatan hukum hasil ijtihad saintifik. Ijtihad saintifik sebagai salah satu tipe ijtihad yang menerapkan metode ilmiah dan dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan ilmiah, tentu masuk dalam kategori yang disebutkan dalam hadis tersebut. Dalam hadis tersebut, jelas Rasulullah SAW mengakui dan membenarkan ijtihad sebagian sahabatnya sebagai hukum yang dapat diterapkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, secara historis, ijtihad telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi‘in serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang. Bahkan justru dengan adanya ijtihad inilah ajaran-ajaran Islam dapat senantiasa sesuai dengan dinamika perkembangan zaman, sehingga di sinilah letak relevansinya ungkapan bahwa syariat Islam itu selalu salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).

2.4. Rasional Urgensi Ijtihad Saintifik

Sebagaimana digambarkan di atas, bahwa ijtihad saintifik adalah upaya pencurahan segala kemampuan oleh seorang yang mempunyai kelayakan ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk mendapatkan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer dengan berdasarkan sumber-sumber hukum yang diakui oleh Syarak (al-Qur’an dan al-Sunnah). Dalam era global, dimana dunia diibaratkan sebagai planet yang tidak berbatas (borderless world atau sering juga disebut global village) karena begitu spektakulernya perkembangan teknologi informasi (terutama dengan adanya internet) dan pengangkutan (pesawat terbang), menjadikan ijtihad saintifik merupakan suatu perkara yang sangat mungkin dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kelayakan ilmiah dan kesungguhan. Semua yang diperlukan untuk untuk melakukan ijtihad saintifik sudah tersedia, tinggal menunggu kemauan dan kesungguhan manusia itu sendiri.
Di sisi lain, selain era global menjanjikan peluang yang besar pada umat manusia, juga meninggalkan persoalan dan tantangan, khususnya dalam bidang hukum muamalat. Muamalat dalam istilah popuper sering dipersamakan dengan transaksi. Muamalah merupakan perbuatan dan hubungan-hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan syariah. Pengertian ini jelas sekali menunjukkan hubungan antara transaksi dengan syariah. Syariah menjadi guideline bagi semua aktivitas transaksi. Aktivitas transaksi yang tidak mengikuti ketentuan syariah berarti dilarang (diharamkan).
Dalam kenyataannya, perkembangan transaksi baik dari segi bentuk, jenis, maupun metodenya pada era globalisasi ini berkembang sangat cepat. Persoalan-persoalan hukum transaksi (muamalah) dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang muamalah Islam yang belakangan muncul misalnya zakat profesi, asuransi, praktek perbankan elektronik, pasar modal, bursa efek, reksadana, e-commerce dan lain-lain. Padahal wahyu tidak akan turun lagi karena Rasulullah SAW sebagai Rasul terakhir telah wafat, dan al-Qur’an telah tamat. Sementara tidak semua persoalan-persoalan hukum yang muncul kontemporer dalam era globalisasi dijawab secara gamblang oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Walaupun sebagian persoalan-persoalan yang muncul kontemporer telah dibincangkan oleh ulama terdahulu, tetapi kasus dan kondisinya tidak sama persis, sehingga perlu kajian ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global, sehingga terbuktilah bahwa Islam adalah salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).
Dengan melakukan ijtihad saintifik, dimana sarana dan prasarananya telah tersedia dengan mudahnya di era global ini, maka insyaAllah problematika transaksi kontemporer yang menjadi persoalan umat Islam dalam bertransaksi secara internasional pada era global dapat diselesaikan dengan tetap berpegang pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan begitu, maka ajaran Islam akan tetap salihun likulli zaman wa likulli makan sebagaimana tujuan utama diturunkannya agama Islam sebagai syariat terakhir yang akan berlaku hingga akhir zaman.

3. Landasan Ijtihad Saintifik

Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat. Sifat dasar Islam ini didukung oleh instrumen-instrumen hukum yang menjadikannya fleksibel dengan segala perubahan zaman. Hal ini sebagaimana terlihat dalam sifat dasar hukum yang digariskan oleh al-Qur’an yaitu ada hukum yang bersifat qat‘iyyat dan mutasyabihat (zanniyyat), di mana jenis yang kedua terbuka untuk diinterpretasi sesuai ta‘lil al-ahkam (melihat hukum berdasarkan ‘illah) yang dipahami mujtahid akademik dan juga tuntutan zaman serta realitas sosial dan budaya lokal.
Selain itu terdapat hadis-hadis, seperti dua hadis tersebut diatas yang memberikan justifikasi untuk berijtihad kepada siapa saja yang berkelayakan terhadap persoalan-persoalan yang muncul (kontemporer) yang tidak ditentukan hukumnya oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan dua hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang berijtihad mendapatkan tempat yang utama dan mulai dalam ajaran Islam. Dengan demikian jelas sekali, bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan landasan yang kuat untuk melakukan ijtihad saintifik.
Di samping itu, setelah mendalami makna dan filosofi yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah, para ulama menyimpulkan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Bahkan asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan:

æãÚáæã Çä ÇáÔÑíÚÉ ÇäãÇ æÖÚÊ áãÕÇáÍ ÇáÎáÞ ÈÇØáÇÞ

“Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak".
Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan:

ÇíäãÇ ßÇäÊ ÇáãÕáÍÉ ÝËã Íßã Çááå

“Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan kemaslahatan itu seiring dengan perkembangan zaman. Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada waktu yang lalu belum tentu dianggap maslahat pada masa sekarang. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, material dan spiritual, maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari ini dan esok.
Maslahat menurut al-Syawkani, adalah pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia). Sementara menurut al-Tufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syari‘ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun muamalat. Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik manfaat atau menolak madarat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat. Mengadopsi transaksi modern di era global dengan menyesuaikannya dengan ketentuan syariah merupakan suatu bentuk maslahat untuk kehidupan manusia (umat Islam).
Di samping itu, para ulama setelah memahami falsafah yang mendasari hukum Islam, merumuskan suatu kaedah dasar dalam bidang muamalah, yang artinya:
“Hukum asal mu‘amalat adalah bahwa segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya (dalam al-Qur’an dan al-Sunnah)”.
Kaedah ini berdasar firman Allah yang artinya:
“Allah sungguh telah memperinci apa saja yang diharamkan untuk kamu sekalian”.
Terjemahan Surah al-An‘am (6): 119
Ini maknanya bahwa segala sesuatu yang haram telah diperincikan secara detail dalam syarak, sedangkan yang mubah (dibolehkan) tidaklah diperinci secara detail dan tidak pula dibatasi secara detail, sehingga para ulama berkesimpulan bahwa hukum asal muamalat adalah mubah, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dengan menerapkan kaedah ini, terbuka luas peluang untuk melakukan adopsi terhadap transaksi-transaksi (muamalah) modern pada era global, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, seperti terpenuhinya syarat dan rukun kontrak, adanya unsur suka sama suka (‘an taradin) dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
Di sisi lain, para fukaha juga merumuskan kaedah fiqh yang mengatakan yang artinya: “Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”.
Menurut Ibn al-Qayyim kaedah ini sangat penting dalam hukum Islam. Tidak mengetahui kaedah tersebut, akan terjadi kekeliruan besar dalam pandangan atau penilaian terhadap hukum Islam dan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan yang tidak dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri. Sebab prinsip hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat.
Landasan lainnya adalah prinsip Islam tentang kebebasan untuk melakukan kontrak yang dikehendaki, asalkan perkara-perkara yang dikontrakkan itu sesuatu yang tidak dilarang oleh syarak. Hadis yang berkaitan dengan kebebasan dalam melakukan kontrak dan meletakkan syarat dalam kontrak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Daud dan al-Turmudhi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
“Orang-orang Islam boleh melakukan kontrak dengan membuat apa-apa syarat melainkan syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”

Berdasarkan pada hadis tersebut, dapatlah dipahami bahwa hukum asal dari segala bentuk kontrak dan persyaratan adalah mubah. Ini sebagaimana pendapat mazhab Hambali dan Maliki. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas, sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali yang diindikasikan keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau qiyas. Di antara dalil-dalil mereka yang berpendapat demikian adalah sebagai berikut:

1. Asal dari kontrak adalah keridaan kedua belah pihak. Konsekuensinya adalah komitmen yang mereka sepakati bersama untuk mereka. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...." (An-Nisa : 29).
Dalam ayat ini, secara jelas Allah melarang mengambil harta orang lain dengan cara batil (diharamkan), selanjutnya Allah mengecualikan harta yang diambil dari orang lain dengan saling ridha. Yang dipersyaratkan dalam kontrak jual beli di dalam ayat ini hanya saling ridha alias suka sama suka. Ini menunjukkan bahwa segala transaksi yang didasari faktor saling meridhai adalah boleh, kecuali kalau terbukti ajaran syariat mengharamkannya, seperti jual beli babi (khinzir), terdapat unsur gharar.

2. Menurut al-Qur’an, "Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian." (QS Al-Ma’idah: 1). Ini menunjukkan bahwa janji atau kontrak itu wajib dilaksanakan tanpa kecuali dan kontrak itu tidak akan mengikat kecuali dilakukan dengan sah. Menurut penafsiran Muhammad Rasyid Rida, ayat itu menunjukkan bahwa tiap-tiap perkataan atau perbuatan yang dianggap sebagai kontrak adalah wajib dilaksanakan sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, selama ia tidak mengandung perkara yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

3. Kontrak dan persyaratan termasuk soal kebiasaan, dan asalnya adalah tidak diharamkan, karena asal dari kebiasaan adalah mubah. Allah berfirman:
.... padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya." (Al-An'am:119).
Hukum ini berlaku umum untuk benda dan perbuatan. Hukumnya dijadikan sebagai standar hukum asli hingga ada penjelasan tentang keharamannya. Nash atau dalil-dalil tegas yang melarang berbagai bentuk aktivitas amat sedikit sekali. Itu menunjukkan bahwa selain yang disebutkan keharamannya berada dalam kondisi asal, yakni mubah. Ini juga sesuai dengan prinsip, bahwa hukum asal muamalat adalah mubah. Ini berbeda dengan perkara ibadah yang asalnya adalah haram, kecuali yang diperintahkan syarak.
Memang ada segolongan ulama’ (mazhab Zahiri, diantaranya Ibnu Hazm) yang berpendapat sebaliknya, yaitu semua kontrak dan syarat-syarat adalah tidak sah kecuali yang dibolehkan oleh nas dan ijma’. Akan tetapi, pendapat ini dianggap sempit dan kurang sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri.
Secara garis besar, para ulama telah menggariskan tentang pembagian syarat dalam kontrak menjadi syarat sah dan syarat rusak atau batal. Masing-masing dibagi menjadi tiga yaitu: Persyaratan yang sah:
1. Syarat yang menjadi konsekuensi perjanjian, seperti syarat harus ada serah terima barang dan penyerahan pembayaran.
2. Syarat demi kepentingan perjanjian, seperti syarat bentuk pembayaran, seperti pembayaran cash atau hutang (tunda).
3. Syarat yang jelas kegunaannya namun bukan merupakan konsekuensi perjanjian, dan juga bukan demi kepentingan perjanjian tersebut, namun juga tidak bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu. Seperti seorang penjual rumah yang meminta persyaratan untuk tetap tinggal di rumah itu selama satu bulan.
Persyaratan yang rusak/batal
1. Persyaratan yang menyimpang dari konsistensi untuk melaksanakan syarat dan rukun dasar suatu kontrak, dan persyaratan yang membuka pada masuknya elemen riba dan gharar, dan ilegal.
2. Persyaratan yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian. Seperti persyaratan bahwa barang yang dijual tidak boleh rugi bila dijual kembali, atau agar tidak dijual lagi.
3. Persyaratan yang membuat perjanjian menjadi tergantung. Seperti ucapan, "Aku jual ini kepadamu, tetapi bila si fulan sudah datang."

4. Contoh Ijtihad Saintifik dalam Problematika Transaksi Kontemporer

Di antara contoh ijtihad saintifik yang dilakukan oleh para pakar ekonomi Islam dan fiqh muamalah baik secara individual maupun secara kolektif adalah tentang kasus default payment (kegagalan pembayaran) dalam produk pembiayaan Islam di institusi keuangan Islam, seperti perbankan Islam. Kejadian kegagalan pembayaran angsuran baik itu terjadi kerana mungkir bayar atau keterlambatan pembayaran angsuran oleh pihak nasabah bank Islam yang menerima skim pembiayaan memang terkadang terjadi di bank Islam, sebab pada dasarnya bank Islam tidak mengenakan denda terhadap default payment sebagaimana di bank konvensional. Default payment ini disebabkan oleh sikap tidak bertanggungjawab para nasabah untuk membayar angsuran tepat pada waktunya di samping terdapat juga sedikit nasabah yang benar-benar menghadapi masalah kesulitan uang sehingga gagal membayar angsuran tepat waktu.
Dalam sistem perbankan Islam maupun konvensional, defaul payment merupakan penyebab utama dari meningkatnya non performing financing (NPF). Misalnya, NPF di Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), Malaysia pada tahun 2005 ini mencapai RM 700 juta (Rp 1.750.000.000.000,-, dengan asumsi 1 RM= Rp 2500,-). Suatu jumlah yang sangat fantastis, dan dapat menyebabkan bangkrutnya bank Islam tersebut dan secara keseluruhan bisa menghancurkan kredibilitas bank Islam dan kepercayaan publik terhadap institusi perbankan Islam. Oleh karena itu, persoalan defaul payment menjadi perhatian serius para pakar ekonomi Islam dan fiqh muamalah baik secara individual maupun secara kolektif. Terdapat berbagai pendapat berbeda yang merupakan hasil ijtihad saintifik para pakar ekonomi Islam dan fiqh muamalah tentang cara menyelesaikan defaul payment agar tidak terjebak pada riba.
Menurut ijtihad saintifik Kamal Hammad, hanya mahkamah yang berwenang untuk memberikan hukuman terhadap nasabah defaul payment. Beliau menolak dengan tegas hukuman terhadap nasabah defaul payment dengan kompensasi. Sementara ijtihad saintifik Syaykh Mustafa al-Zarqa’, sebagaimana dikutip Mohammad Ali Elgari et.al, berpendapat bahwa hukuman denda mesti diputuskan oleh mahkamah tinggi saja dan uang denda itu mesti dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Bank Syari‘ah tidak boleh mengambil uang denda tersebut, tetapi semua uang denda itu mesti dimanfaatkan untuk maslahah ‘ammah (public interest).
Sementara ijtihad saintifik kolektif Islamic Fiqh Academy, mengeluarkan fatwa bahwa jika nasabah gagal membayar angsuran pada waktu yang telah disepakati, maka pihak bank tidak boleh mengenakan denda atau bayaran lain atas kegagalan tersebut, kerana hal itu sama saja dengan menerapkan konsep bunga terhadap angsuran tersebut.
Sedangkan ijtihad saintifik al-Sadiq al-Darir menyatakan bahwa ia setuju mengenakan denda terhadap defaul payment dengan syarat jumlah denda itu tidak melebihi jumlah hutang nasabah. Muhammad Taqi Usmani berpendapat serupa, yakni nasabah defaul payment hendaknya membayar sejumlah uang kepada institusi kebajikan yang dimiliki oleh bank Islam untuk tujuan membiayai kegiatan kebajikan yang dibolehkan oleh Syari‘ah. Bank Islam tidak boleh mendapat bagian sedikitpun dari uang denda tersebut. Jadi uang denda itu bukan kompensasi kepada pembiaya (bank Islam) sebagai opportunity cost, tetapi semata-mata untuk tujuan kebajikan.
Sedangkan ijtihad saintifik Umer Chapra dan Tariqullah Khan menyatakan bahwa kalau defaul payment tidak dikenakan penalti atau denda maka hal ini akan menjadi satu fenomena dan preseden yang tidak baik bagi kelangsungan ekonomi sosial, dan orang yang defaul payment tersebut akan terus-menerus melakukan ketidakjujuran. Hal ini juga akan memperburuk sistem keuangan suatu institusi keuangan apalagi kalau nilai kontrak itu sangat besar. Oleh karena itu, Umer Chapra dan Khan mengusulkan konsep “Loss Given Default” (LGD) untuk menentukan jumlah kompensasi agar bisa mengkurangkan nilai-nilai ketidakadilan antara pihak nasabah dan bank Islam saat terjadi defaul payment dengan syarat jumlah kompensasi sudah disetujui oleh ulama, dalam hal ini adalah Dewan Penasehat Syari‘ah Nasional.
Sedangkan ijtihad saintifik Joni Tamkin bin Borhan menyatakan bahwa pengenaan ganti rugi (ta‘wid mali) menurut penelitian sebagian pakar ekonomi Islam adalah dibolehkan dengan argumen-argumen berikut: (1) Di antara inti hukum Islam adalah konsep “penolakan madarat” di mana setiap madarat atau kerugian mestilah dihindari. (2) Praktek riba hanya terjadi dalam hal pertukaran uang dengan uang atau barang ribawi dengan barang ribawi. Dalam kasus pengenaan bayaran ganti rugi, ia dikenakan ke atas kegagalan nasabah dalam akad pertukaran (mu‘awadah) yang melibatkan pertukaran antara uang dengan barang iaitu dari jenis dan sifat yang berbeda. Dalam hal ini terdapat ijtihad fiqhi berhubung dengan bay‘ al-‘arbun dan kebolehan hangusnya uang deposit karena untuk mengganti kerugian penjual menunggu dan tidak memasarkan barang yang ditempah itu kepada pelanggan lain. Kerugian dalam kasus bay‘ al-‘arbun adalah berbentuk kerugian ekonomi, sementara kerugian yang ditanggung oleh investor dan penabung akibat defaul payment adalah berbentuk kerugian riil. (3) Riba selalunya memberi kelebihan satu pihak ke atas pihak lain, sementara bayaran ganti rugi hanya sekedar mengembalikan keadaan kerugian kepada keadaan tidak rugi. Ini tidak menguntungkan pihak bank, kerana tujuan ganti rugi hanya sekedar memperbaiki keadaan. Dengan demikian, pengenaan ganti rugi terhadap defaul payment adalah dibolehkan dengan syarat jumlah ganti kerugian ini ditentukan oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai apa-apa kepentingan dalam kasus ini.
Dari berbagai ijtihad saintifik tentang defaul payment tersebut, tergambar betapa para pakar dan ilmuwan yang mempunyai kelayakan ilmiah melakukan ijtihad saintifik sesuai dengan tingkat dan latarbelakang keilmuan, keadaan sosial budaya dan politik, serta dalil-dalil yang dapat mereka kemukakan. Hasilnya ternyata berbeda, mana yang paling tepat? Mungkin ijtihad saintifik Umer Chapra dan Tariqullah Khan, serta Joni Tamkin bin Borhan lebih cocok untuk menyelesaikan kasus default payment di BIMB Malaysia. Wallahu ‘alam bi as-Sawab.

5. Penutup

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, jelaslah betapa urgennya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global, dengan rasional sebagaimana dikemukakan di atas. Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang menjadikannya fleksibel dengan segala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Ini sesuai dengan pernyataan bahwa hukum Islam adalah hukum yang salihun likulli zaman wa likulli makan. Pernyataan tersebut memiliki landasan teoritis, historis maupun empiris yang kuat. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam yakni dengan melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab segala problematika transaksi kontemporer yang muncul tersebut.






























DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Abul Hasan (2004), “Islamic Ethical Responsibilities for Bussiness and Sustainable Development”, dalam Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 48, No. 4, London: The Islamic Cultural Centre.
Ahmad Hidayat Buang (2000), Studies in The Islamic Law of Contracts: The Prohibition of Gharar, Kuala Lumpur: International Law Book Services.
Amidi, al- (1967), al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Kairo: Muassasah al-Halabi.
Asyqar, Muhammad Sulaiman al- et.al., (1998), Buhuth al-Fiqhiyyah fi Qadaya Iqtisadiyyah Mu‘asirah, jil. 2, cet. 1, Amman: Dar al-Nafa’is.
Aznan Hasan (2004), “A Comparative Study of Islamic Legal Maxims in Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, Jordanian Civil Code, and Limited Arab Emirates Law of Civil Transaction”, dalam Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 48, No. 1, London: The Islamic Cultural Centre.
Bik, Muhammad Khudari (1981), Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.
Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan (2000), Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development Bank.
Darir, Al-Sadiq Muhammad al-Amin al- (1985) “al-Ittifaq ‘ala Ilzam al-Madin al-Mu‘sir bi Ta‘wid Darar al-Mumatalah”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 3, No.1, hh. 111-112 (Arabic section).
Dawud, Abu (1952), Sunan Abu Dawud, juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi.
Elgari, Mohammad Ali, Mohammad Nejatullah Siddiqi and Mohammad Anas Zarqa (1993), “Qanun al-Masarif-- Sighah Muqtarahah li-Tanzim Qita‘ fi al-Masraf al-Islami”, Review of Islamic Economics, Vol. 2, No. 2.
Ghayati, Lashin Muhammad al-, (1995), “’Arbun (Earnest Money) Sale”, Journal of Shari‘a and Islamic Studies, Vol. 10, No. 26, Agustus 1995.
Ghazali, al- (t.t.), al-Mustasfa, juz. 1, Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Hazm (t.t.), al-Muhalla, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
Ibn Qudamah (1972), Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 4. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi.
Ibn Taymiyyah (t.t), Nazariyyah al-‘Aqd. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Izzi Dien, Mawil (2005), “Theology, Practice and Textual Interpretation in Islam”, dalam Jurnal The Islamic Quarterly, Vol. 49, No. 1, London: The Islamic Cultural Centre.
Jauziyyah, Ibn al-Qayyim al- (1977), I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, juz III, cet. ke-2, Beirut: Dar al-Fikr.
Joni Tamkin bin Borhan (2001), “Isu-isu Syariah Dalam Sistem Perbankan Islam”, dalam Jurnal PEMIKIR, Oktober-Disember 2001.
___________________ (2001), “Peranan dan Cabaran Ekonomi Islam dalam Era Globalisasi: Suatu Analisis”, dalam Jurnal Afkar, No. 2, Juni 2001, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Departemen Akidah dan Pemikiran Islam.
Juhaya S. Praja (2000), “Aspek Sosiologi dalam Pembaharuan Fiqh di Indonesia”, dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kasani, al- (t.t), Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘ , juz 5, Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah.
Leimgruber, Walter (2004), Between Global and Local, Aldershot (England): Ashgate Publishing Limited.
M Dahlan Al Barry dan Pius A Partanto (1994), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola.
Mahmood Zuhdi Abd. Majid (1997), Hukum Islam Semasa di Malaysia: Prospek dan Cabaran. Syarahan Perdana di Universiti Malaya pada hari Sabtu, 16 Agustus 1997
______________ (1997), Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.
______________ (2004), “Fiqh Malaysia: Konsep dan Cabaran”, dalam Paizah Hj. Ismail dan Ridzwan Ahmad (eds.), Fiqh Malaysia; Ke Arah Pembinaan Fiqh Tempatan yang Terkini, cet. 2, Kuala Lumpur: Al-Baian dan Akademi Pengajian Islam UM.
Manzoor, S. Parvez (2004), “Book Review ‘Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity” oleh Johan Meuleman (ed.) (2002), London: RoutledgeCurzon, dimuat dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies.
Maududi, Abul A’la (1997), Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication Ltd.
Misri, Rafiq Yunus al- (1999), Usul al-Iqtisad al-Islami. Beirut: al-Dar al-Syamiyyah.
Mohd. Daud Bakar (1998), “Kedinamikaan Shari‘ah dalam Memenuhi Tuntutan Muamalah Perbankan Moden”, dalam Jurnal Syariah, Vol. 6, Januari 1998, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Bahagian Syariah.
Mohd. Ma’sum Billah (2003), Modern Financial Transaction Under Syariah, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd.
_________________ (2003), Islamic Insurance (Takaful), Petaling Jaya: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd.
_________________ (2003), Syari’ah Standard of Quantum of Damages in Insurance (Third Party Claim), Petaling Jaya: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd.
Moten, Abdul Rashid (2005), “Modenization and The Process of Globalization: The Muslim Experience and Responses”, dalam K.S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (eds.), Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategiec Challenges for the 21st Century, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Muhammad Musa Towana (1972), al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr. Dar al-Kutub al-Hadithah
Musawi, Sayyid Hasyim al- (1997), Manhaj al-Fiqh al-Islami, Teheran: Islamic Republic of Iran.
Nadirsyah Hosen (2004), “Behind The Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies.
Nadwi, ‘Ali Ahmad al- (1999), Mausu‘ah al-Qawa‘id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar ‘Alam al-Ma‘rifah.
Nawawi, Abu Zakariyya Muhyi al-Din bin Syaraf al- (t.t), Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab, Beirut: Dar al-Fikr.
Nor Azzah Kamri dan Fadillah Mansor (2002), “Aplikasi Konsep al-Murabahah dalam Penawaran Instrumen di Institusi Perbankan Islam di Malaysia”, Prosiding Seminar Keuangan Islam, API UM, Kuala Lumpur, 18 Juni 2002.
Opwis, Felicitas (2005), “Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory”, dalam Jurnal Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 2.
Pronk, Jan (2001), “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen Pieterse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, London: Zed Books.
Qaradawi, Yusuf al- (1994), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr al-Islamiyyah.
______________ (t.t.), Madkhal lidirasah as- Syari'ah al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah.
Rahman, Fazlur (1962), Post Formative Developments in Islam. Karachi: Islamic Studies.
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, cet. 4, jil. 6, Kairo: Matba‘ah al-Qahirah
Risuni, Ahmad al- (1992), Nazariyyah al-Maqasidi ‘inda al-Syatibi, Riyad: al-Dar al-‘Alamiyyah li al-Kuttab al-Islami.
Rose, Collin dan Malcolm J. Nicholl (1997), Accelerated Learning for the 21 st Century. New York: Delacorte Press.
Rusyd, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn (1988), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Jil. II, Beirut: Dar al-Qalam.
Saeed, Abdullah (2004), “Islamic Banking and Finance, In Search of a Pragmatic Model”, dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal (eds.), Islamic Perspectives on the New Millennium, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Sayyid, Ridwan al- (2003), “al-Tajdid al-Fiqhi wa al-Dini”, dalam Journal al-Ijtihad, Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad.
Sibanu, Qutb Mustafa (2003), “Al-Fikr al-Maqasidi wa Manahij al-Bahth fi al-‘Ulum al-Ijtima ‘iyyah wa al-Insaniyyah”, dalam Journal al-Ijtihad, Vol. 59 dan 60, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad.
Suruhanjaya Sekuriti (2002), Keputusan Majlis Penasihat Syari’ah Suruhanjaya Sekuriti, Kuala Lumpur: Suruhanjaya Sekuriti.
Suyuti, al-Imam Jalaluddin Abd. Rahman al- (1399H), Al-Asybah wa al-Naza’ir, cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Syatibi, al- (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, juz II, Beirut: Dar al-Fikr.
Syawkani, al- (t.t.), Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Fikr.
Turabi, Hasan al- (1990), Qadaya al-Tajdid. Khartum: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat al-Ijtima‘iyyah.
Turmudhi (1967), Sunan al-Turmudhi (al-Jami‘ al-Sahih), juz 3, Kairo: Maktabah al-Babi al-Halabi.
Ubadah, Muhammad Anis (1980), Tarikh al-Fiqh al-Islami fi ‘Ahd an-Nubuwwah wa as-Sahabah wa at-Tabi’in. Dar at-Tiba‘ah.
Usmani, Muhammad Taqi (2002), An Introduction to Islamic Finance. London: Kluwer Law International.
Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes (1998), Islamic Law and Finance, London: Kluwer Law International.
Yaman, Ahmad (2003), “Nasy’ah al-Fiqh al-Islami wa tatawwurihi”, dalam Journal al-Ijtihad, Vol. 57 dan 58, Tahun ke-15, Beirut: Dar al-Ijtihad.
Yusdani (2000), Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, Yogyakarta: UII Press.

PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM INDONESIA KONTEMPORER : KATEGORI DAN KARAKTERISTIK Zuly Qodir Pendidik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti di P

PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM INDONESIA KONTEMPORER :
KATEGORI DAN KARAKTERISTIK

Zuly Qodir
Pendidik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM


A. Perkembangan Pemikiran dan Gerakan Islam
Masyarakat Islam Indonesia sekarang ini sedang dilanda apa yang saya sebut sebagai gerakan “formalisasi syariah” atau lebih tepat sebenarnya gerakan arabisasi. Masyarakat Islam Indonesia yang sering diidentikkan dengan masyarakat yang toleran, harmonis, solidaritas sosialnya tingi, dan tidak demikian peduli dengan hal-hal yang formalistic, terutama dalam agama, sekarang ini sedang mendapatkan serang tajam dari kelompok agama yang mengendus melalui underbouw-underbouw partai politik dan gerakan keagamaan.
Islam Indonesia, bahkan sampai desa akhirnya menjadi lahan kampanye agama yang hebat oleh kelompok Islam militant, sebab Desa sering diangap sebagai basis abangan yang berIslamnya sedikit kurang autentik atau murni. Pemilahan Abdul Munir Mulkhan atas Islam di Desa Wuluhan sepuluh tahun yang lalu, memberikan gambar bahwa di desa ada varian-varian orang berIslam; yakni Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Muhamamdiyah Al-Ikhlas, Munu, dan Marmud. Tesis Mulkhan saya kira bias menjelaskan bahwa dalam desa karakteristik Islam itu bervariatif, dan diantara mereka bias saling ketemu, tetapi sekaligus bias saling bersitegang, tetapi mereka tetap satu desa.
Sekarang ini, fenomena keIslaman di desa sebenarnya masih variatif seperti yang dikemukakan Mulkhan di atas, hanya saja belakangan muncul gerakan Islamisasi Indonesia, yang menghendaki pemurnian Islam di Indonesia dari tingkat Desa sampai kampus-kampus, sehingga ceramah-ceramah keIslaman mengarah pada bagaimana agar penduduk desa yang muslim harus fasih dalam berbahasa arab, berdoa, mengaji, melafalkan kata-kata arab, sampai dengan wiridnya. Pendek kata masyarakat Islam Indonesia, sekarang menjadi ajang pertarungan kelompok Islam yang menghendaki puritanisme dalam beragama, karena desa disinyalir identik dengan banyak bid’ah, syirik, tahayul, dan serab tidak Islam lainnya.
Di tengah pergulatan masyaraikat Islam menghadapi kelompok militant Islam seperti di atas, ada kelompok Islam yang lebih apresiatif terhadap multikulturalisme, yakni kelompok Moderat. Sayangnya, kelompok Islam ini kurang popular di desa, dan tampak kurang diminati di desa-desa Jawa khususunya. Ada beberapa alas an mengapa kelompok Islam Moderat sulit popular di desa, karena: pertama, kelompok Islam Moderat lebih banyak bermani dalam wilayah wacana Islam “elit”. Islam Elit yang saya maksud adalah wacana Islam yang lebih banyak dihadapi kaum kelas menengah, pelajar, mahasiswa dan pegawai, bukan masyarakat agraris, petani, buruh dan hal-hal lain seperti kemiskinan dan keobodohan; kedua, media yang digunakan seringkali memakai media yang di desa tidak ada atau belum dikenal, seperti internet, email dan alat-alat elektronik lainnya, yang di desa memang sulit di dapat dan mendapatkannya; ketiga, bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pesan kepada audiens atau pendengar adalah bahasa yang terlewat akademik, atau bahasa yang agak sulit dipahami, tidak menggunakan bahasa arab lagi; dan jarangnya aktivis Islam moderat memberikan siraman ruhani atau ceramah-ceramah ke desa-desa, atau “turun desa”, mungkin karena sibuk di kampus dan menulis buku, sehingga masyarakat desa tidak dijangkau oleh kelompok Islam Moderat.
Dengan empat alasan di atas, sebenarnya kontestasi Islam Militan dengan Islam Moderat di desa sudah tidak terjadi lagi, karena yang terus bergerak adalah kelompok Islam militan dengan segalam macam aktivitasnya yang dikemas secara bervariatif, dari yang sifatnya remeh temeh sampai ideologisasi. Desa jelas terkepung oleh Islam Militan, sekalipun belakangan terdengar resistensi dari desa-desa karena aktivitas Islam Militan. Disinilah sebenarnya Islam Moderat seharusnya bisa mengemas tema atau isu, aktivitas, metode dan gerakan yang dikerjakan sehingga Desa bukan saja menjadi ajang pertarungan ideology abangan versus militant Islam.


B. Karakteristik, Cita-Cita dan Aktor Islam Militan dan Moderat

Gerakan Islam Karakteristik Cita-Cita Aktor Jamaah Gerakan
Ekstrem 1. Menolak Pluralisme
2. Berpegang pada letterlijk teks
3. bulat tanpa kompromi
4. tanpa pelunakan, interpretasi dan pengurangan (Ernest Gellner, 1992: 177)
5. oposisionalisme, perlawanan terhadap paham lain yang dianggap bertentangan dengan kitab suci, baik modernisme, postmodernisme, sekularisasi, nilai Barat atau lainnya yang dalam Islam rujukannya adalah Quran dan hadits.
6. Menolak hermeneutika. Tidak perlu melakukan interpretasi dan enggan bersikap kritis terhadap teks. Teks harus dipahami secara letterlijk, rasio tidak boleh melakukan kompromi atas ayat-ayat
7. menolak pluralisme dan relativisme. Pluralisme diangap sebagai akibat pemahaman teks secara salah dan relativisme muncul akibat intervensi nalar manusia dan perkembangan masyarakat
8. menolak perkembangan histories dan sosiologis (Martin F Marty 1992:: 110-112) 1. Kembali pada zaman salaf
2. Penegakan syariah Islam, perda syariah
3. Khilafah Islamiyah
4. Partai Islam
5. Sistem Ekonomi Islam
6. Islam yang murni
7. Islam yang tunggal 1. Sebagian orang Muhammadiyah
2. Sebagian orang NU
3. Ismail Yusanto
4. Habib Rizieq
5. Abu Bakar Baasyir
6. Adian Husaini
7. Ja’far Umar Thalib 1. Pengikut Muhammadiyah
2. Pengikut NU
3. Hizbut Tahrir Indonesia
4. Front Pembela Islam
5. Front Pemuda Islam Surakarta
6. Dewan Masjid Indonesia
7. DDII
8. MMI
9. KISDI
10. Laskar Jundullah
11. FKAW 12. Teologis: kembali kepada zaman yang diidealkan, ada yang mengatakan zaman salafi, puritanisme (pemurnian dalam arti lebih dekat dengan zaman kenabian, sekalipun belakangan lebih kentara adalah tradisi Arabisasi
13. Politik: kaum fundamentalis-ekstrem menolak segala bentuk struktur politik modern seperti demokrasi, pluralisme partai politik, sehingga menghendaki adanya khilafah Islamiyah dan penegakan syariah Islam
14. Ekonomi : menghendaki struktur dan system ekonomi syariah (agama), bukan ekonomi modern, sebab system ekonomi modern hanya menimbulkan liberalisme, kapitalisme yang tidak adil pada masyarakat Islam khususnya;

15. Budaya : budaya yang ditawarkan adalah budaya Islam atau lebih dekat dengan budaya Arab namun dipahami seakan-akan sebagai budaya Islam

16.
Moderat Karakteristik Cita-cita Actor Jamaah Gerakan
1. menerima hermeneutika, sehingga ada pluiralisme pemahaman
2. Kritis aats teks dan pemahaman kitab suci agama-agama
3. Menerima modernisasi, sekularisasi dan liberalisme agama
4. Kontekstual dalam memahami teks agama
5. Menerima relativisme pemahaman
6. Mengakui pluralisme agama 1. Islam Warna-warni
2. Islam sebagai etika
3. Menghadirkan keimanan dalam dunia modern
4. Menolak teokrasi
5. Menjunjung kesetaraan jender
6. Merayakan Pluralisme agama (merayakan keragaman)
1. Intelektual Islam NU dan Muhammadiyah
2. Aktivis LSM
3. Feminist Muslim
4. Aktivis interfaith 1. UIN,
2. Paramadina
3. LKIS
4. Rahima
5. Fahmina
6. ICIP
7. ICRP
8. P3M
9. IPI
10. PSW UIN
11. PSAP
12. Al-Maun 1. Teologi: pluralis-inklusif dan dialogis yang kritis atas ajaran teks agama, agama sebagai kritik sosial
2. Politik: demokratisasi sebagai pijakan untuk masyarakat bernegara (teologi secular untuk Negara sekulare)
3. Ekonomi: keadilan ekonomi untuk semua warga Negara (keadilan distribusi)
4. Budaya : menolak arabisasi, menghadirkan Islam keindonesiaan

C. Konfigurasi Islam Indonesia
Setelah secara singkat saya memberikan cirri beserta ikutannya tentang Islam Militan dan Moderat sampai liberal, di bawah ini saya ingin memberikan penekanan kembali tentang fenomena Islam yang sedang terjadi di Indonesia, sehingga kita bisa memetakan gerakan Islam di Indonesia dan bagaimana kira-kira prospek dari seluruh gerakan Islam yang sedaang berkontestasi.
Ada beberapa fenomena perkembangan pemikiran dan gerakan islam yang sangat mewarnai masyarakat islam Indoensia khususnya pasca reformasi, sehingga wajah islam Indonesia dan masyarakat Indonesia juga ditentukan oleh kelompok Islam yang sekarang berkembang di Indonesia.
Kelompok Islam pro syariah, formalisai islam, puritanisme Islam, substansialisme islam, moderat islam sampai liberal islam yang perlu mendapatkan perhatian serius dari kalangan aktivis islam, akademisi dan peneliti islam Indoensia. Kelompok-kelompok ini memberikan kontribusi pada pemikiran Islam Indonesia, tetapi juga perkembangan politik Indonesia kontemprer, sebab kelompok Islam yang sekarang berkembang tidak imun dari ormas Islam dan parpol di Indonesia. Ormas Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar memberikan kontribusi yang luar biasa pada perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, selain juga politik partai yang terus berkembang sampai sekarang.


D. Masa Depan Islam Indonesia
Bila kita mempercayai adanya gerakan Islam yang saya gambarkan diatas, saya kira akan terjadi dialektika dalam Islam di Indonesia. Siapakah yang akan mendapatkan “tempat” secara layak di Indonesia adalah mereka yang mampu menghadirkan keIslaman yang sesuai dengan konteks Indonesia. KeIslaman yang mampu memberikan respon secara adil dalam bidang teologi, politik, ekonomi dan budaya itulah yang akan menjadi bagian dari umat Islam Indonesia.
Saat ini memang, kita melihat kelompok ekstrem sedang dalam posisi jaya, sebab rezim kekuasaan tidak secara tegas memberikan batas-batas atas hadirnya kelompok Islam yang di Negara asalnya sendiri di larang, seperti Hizbut Tahrir (Indonesia), juga kelompok Islam yang lebih mempergunakan cara-cara kekerasan dalam melakukan aktivitasnya untuk mencapai tujuan dalam berIslam.
Apabila penegakan hokum positif dilakukan dengan serius, ketimpangan social terkait ketidakadilan, kebodohan dan pelanggaran ham dihilangkan saya merasa tidak akan ada tempat lagi bagi kelompok Islam ekstrem, karena mainstream Islam Indonesia adalah Islam Moderat seperti telah ditunjukkan oleh Muhammadiyah dan NU. Karena tu, kita dorong dua oragnisasi Islam terbesar di Indonesia ini untuk terus bergerak dalam rel moderasinya, terus memberdayakan masyarakat sipil dan jamaahnya sebagai Islam yang moderat, bukan fundamentalis. Bila hal itu bisa dikerjakan oleh NU dan Muhammadiyah, saya berharap Islam Indonesia akan berwajah santun, bervisi kemanusiaan dan rahmatan lil alamin.

E. Akhirul Kalam
Dengan paparan singklat di atas, ada catatan akhir yang hendak saya sampaikan, bahwa fenomena Militansi gerakan Islam disinyalir karena terjadinya ketimpangan social ekonomi, pendidikan, dan politik atas kelompok Islam, di samping euphoria politik otonomi yang tengah melanda negeri ini. Oleh sebab itu, saya kira masa depan umat Islam Indonesia memang tergantung pada gerakan Islam moderat, termasuk aktivis-aktivis Islam liberal agar lebih santun dalam berwacana dan beretorika pada public, dengan mengedepan masalah-masalah yang riil di hadapi masyarakat Islam Indonesia ketimbang menghadirkan masalah-masalah yang tampak abstrak, tidak terjangkau sebab disitulah umat Islam masih menghendaki Islam yang mampu menjawab masalah riil di Indonesia.






Biodata Singkat

Nama : Dr. Zuly Qodir
Pendidikan : Sosilogi Universitas Gadjah mada Yogyakarta
Pekerjaan : Pendidik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM
Alamat : Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM
Sekip K- 9, Bulaksumur Ph/Faks. 0274-520733
Email : zuly_qodir@yahoo.com

Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif. Dr. phil. Kamaruddin Amin, M.A. UIN Alauddin Makassar

Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif.

Dr. phil. Kamaruddin Amin, M.A.

UIN Alauddin Makassar

Pendahuluan

Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.

Makalah ini tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunna oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.

Pertanyaannya adalah: apakah sesungguhnya hadis itu. Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi, tingkah laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang kita warisi dari abad ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan refleksi sunnah nabi. Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukari dan Muslim dan para mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis nabi sudah cukup akurat sehingga semua hadis yang terdapat didalamnya dianggap sahih sehingga kritik sejarah tidak perlu lagi dilakukan? Bagaimana dengan akurasi metode kritik hadis (ulumul hadis)? Pertanyaan ini cukup intriguing dan mungkin untuk kalangan tertentu dianggap profokatif.Tulisan ini mencoba mendiskusikan secara terbuka persoalan tersebut diatas

2. Diskursus di Barat

Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana hadis hadis atau riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas, skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.

Akan tetapi, Tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.

Singkatnya, diskursus hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhhab skeptis di Barat. Dimasa Goldziher (Mohammedanische Studien,1890) dan Schacht (The Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.

Beberapa dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan di Barat tidak lagi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang dikomandani oleh sejumlah Orientalis sekaliber Motzki, Fuec, Scheoler, Schoeler dll, turut meramaikan diskursus masa awal Islam. Lewat metodologi yang mereka kembangkan, mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama kedua hijriah.

Sarjana Muslim Fuat Sezgin, sarjana berkebangsaan Turki yang menulis karya masterpiece Geschichte des arabishen Schrifftums, dan Muhammad Azmi telah terlibat dalam diskursus hadis di barat, namun radiasi pengaruhnya terasa sangat marginal di Barat.. Dalam studi yang cukup serius, Sezgin dan Azmi berkesimpulan bahwa proses transmisi hadis nabi secara tertulis dimulai sejak masa sahabat sampai pada masa pengumpulan hadis pada pertengahan abad ketiga hijriah. Dengan kata lain, literatur hadis yang diwarisi dari pertengahan abad ketiga adalah hasil dari periwayatan tertulis dari masa sahabat, sehingga kwalitas historisitasnya terjamin tanpa keraguan. Kesimpulan Sezgin dan Azmi dikukung oleh Nabi Abbott. Kelemahan ketiga sarjana ini menurut pengkritiknya adalah mereka menggunakan sumber atau literatur pada abad ketiga untuk merekonstruksi peristiwa abad pertama. Dan metode yang digunakan adalah metode penyandaran atau isnad. Oleh para Orientalis, argumen-argumen yang diajukannya dianggap circular.

Terlepas dari kesimpulan sarjana Barat terhadap kualitas hadis yang sering kurang simpatik dimata orang Islam, mempelajari metodologi mereka sangatlah fruitfull dari perspektif akademis. Karena ia tidak hanya mengapresiasi literatur Islam tapi juga menunjukkan kelemahannya yang dapat membuka mata kita. Sejauh pengamatan penulis, metodologi ini kurang diakses, untuk tidak mengatakan, sama sekali belum disentuh oleh para penstudi hadis di tanah air. Dunia Islampun gagal mengikuti perkembangan metodologi ini. Sarjana Islam mungkin trauma oleh ide-ide Goldziher dan Joseph Schacht, sehingga mereka apriori terhadap metodologi yang dikembangkan di Barat. Padahal, diskursus hadis di Barat berkembang sangat dinamis. Premis dan kesimpulan Goldziher dan Schacht dan para pendukungnya yang secara umum menafikan historisitas penyandaran hadis kepada nabi dan Sahabat telah mengalami revisi signifikan. Di samping itu, metode untuk menentukan kualitas sebuah hadispun berkembang dinamis.

Penulis tidak mengunggulkan metode Barat (method of dating a particular hadith) atas metode kritik hadis (takhrij al-hadith) atau sebaliknya. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan masing masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan tentang historisitas penyandaran hadis kepada nabi, sahabat atau Tabiin. Oleh karena itu, penulis dengan penuh rendah hati ingin menyarankan kepada Institusi perguan tinggi yang menjadikan hadis sebagai salah satu substansi kajiannya, terutama program pasca sarjana, agar membuka diri demi pengembangan mutu akademis kedepan. Bagaimanapun juga, metode kritik hadis baik yang dikembangkan di dunia Islam maupun di Barat adalah hasil dari sebuah kerja intelektual yang serius. Membiarkannya berlalu tak terakses didunia Islam adalah sebuah kelalaian akademis yang sangat disayangkan.

Problematika Ulumul hadis

Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim.

Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis?

Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted.

Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta, al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector) Lihat diagram berikut

Collector 7 Collector 4 Collector 5 Collector 1 Collector 2

Collector 8

Collector 6 Collector 3

Transmitter

Transmitter Transmitter


Transmitter Transmitter Transmittter Transmitter Transmitter Transmitter

Transmitter

Transmitter


Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitte Transmitter


Transmitter Transmitter

Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter


Pcl 1 Pcl 2 Pcl 3 Pcl 4 Pcl 5


Common link

Successor Successor


Diving Successor Single strand

Companion Companion


Prophet

Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis di aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis.[1] Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja,[2] belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain. Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abu Zubayr – Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.

Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis.[3] Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan tadlis.[4] Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim.[5] Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya, yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus di ”gantung” sampai ada hadis lain yang thiqa yang dapat menguatkannya.

Ulumul hadis juga mengajarkan bahwa dalam transmisi (periwayatan) hadis seorang perawi harus thiqa (reliable). Cara menentukan kethiqahan perawi adalah dengan merujuk kepada buku-buku biografi perawi dan dengan membandingkan riwayatnya dengan riwayat yang lain. Pertanyaannya, sejauhmana keakuratan penilaian penulis buku biografi terhadap seorang perawi, sementara masa hidup mereka sangat berjauhan? Penulusuran terhadap buku biografi mengindikasikan bahwa penilain tersebut sering kurang akurat, sehingga penentuan kualitas perawi yang hanya didasarkan atas buku biografi terkadang kurang meyakinkan. Namun demikian, buku biografi bukan tidak penting untuk dikonsultasi. Penelitian empirispun membuktikan bahwa informasi yang ada dalam buku biografi perawi sangat berharga, meskipun tetap harus didekati secara kritis.[6]

Selanjutnya, metode membandingkan riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mencari metodologi alternatif disamping ulumul hadis dalam menentukan kualitas hadis, karena hemat penulis menyandarkan hadis kepada nabi yang sesungguhnya tidak pernah diucapkan olehnya sama dosanya dengan mendustakan hadis nabi. Sehinga penelitian terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk tujuan tersebut maka pengembangan metodologi menjadi tuntutan yang sangat mendesak.

Isnad cum matn analysis

Benarkah ribuan hadis yang disandarkan kepada Abu Hurayra,[7] Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadis itu tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadis. Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin Sahabat yang dikutip memang tidak bertanggung jawab terhadap hadis yang disandarkan kepadanya. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan urgensinya.

Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.

Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadis tersebut keseluruh kitab hadis yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Apakah hadis yang kita cari itu terdapat dalam buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi kegenerasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat terbatas untuk mengurainya secara detail.[8]

Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memunkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ketempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Dengan memiliki sumber berita yang tersedia, kondisi manusia diabad 21 secara fisik lebih bagus daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan metodologi isnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis daripada al-Bukhari dan para mukharrij lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadis dari empat sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadis belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadis tersebut hanya dari empat orang diatas. Pada saat ini, kitab-kitab hadis yang tersedia memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber al-Bukhari. Kitapun dapat membandingkan anatara riwayat al-Bukhari dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedabitan setiap perawi dari generasi kegenerasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain. Sekali lagi dengan isnad cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan demikian kitapun dapat melihat tingkat keadabitan perawi dari teksnya.

Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Hal ini terefleksi dari literatur hadis kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori dan praktek.

Kesimpulan

Dalam sejarah umat Islam, reliabilitas ulumul hadis tidak pernah mendapat tantangan berarti dari sarjana Islam. Ada beberapa sarjana yang meragukan reliabilitasnya, tapi tidak mendapat simpati berarti dari umat Islam. Tulisan inipun tidak bermaksud menggugat ulumul hadis secara umum, tapi ada beberapa element substantif dalam ulumul hadis yang harus dipikirkan kembali. Meskipun dalam kritik hadis terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas hadis ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak mengabaikan pertimbangan matnnya. Metode isnad cum matn analysis menaksir kualitas hadis berdasarkan matnnya, bahkan kwalitas sanadpun dapat ditaksir melalui matnnya. Analysa matn yang dimaksud bukan apakah matn itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, melainkan sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij sampai ke perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi).



[1] Al-Razi, al-Jarh wa al-tadil, vol. 8. hal. 75; Ibn Hajar, Tahdhib al-tahdhib, vol. 9, hal. 441

[2] Penulis telah meneliti keseluruhan hadis tersebut, Lihat, Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission, A Reexamination of Hadith Critical Methods, Bonn 2005)

[3] Ibn Hajar al-Asqalani memasukkannya dalam kelompok mudallis. Lihat Ibn Hajar, Tabaqat al-mudallisisn, Cairo 1322, hal. 8, 14.

[4] Al-Mizzi, Tahdhib al-kamal, vol. 6, hal. 109, 125; Ibn Sa’d, Tabaqat, vol. 7, hal. 161, 157-8.

[5] Penulis telah meneliti semua hadis tersebut, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility of Hadith Transmission…Bonn 2005.

[6] Tentang reliabilitas kitab biografi, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility

[7] Hasil pengecekan penulis, Abu Hurayra hanya meriwayatkan 3370 dalam kutub al-sitta, Aisya 1999, Abdullah b. Umar 1979, Anas b. Malik 1584, Abdullah b. Abbas 1243 dan Jabir 960, 13 Sahabat meriwayatkan hadis antara 100 sampai 500, 18 Sahabat antara 50 sampai 100, 68 Sahabat antara 10 sampai 50, selebihnya sahabat sahabat yang lain hanya meriyatkan satu sampai sepuluh hadis (Lihat Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination of Hadith Critical Methods, Bonn 2005)

[8] Untuk cara kerja, prosedur, mekanisme dan pengujian metodologi ini lihat Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission…, Bonn 2005