Jumat, 21 Mei 2010

Analisis Metodologi Tafsir Al-Furqaan Karya A.Hasan

Analisis Metodologi Tafsir Al-Furqaan Karya A.Hasan

Penyusun: Maulana Yusuf*

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

Pendahuluan


Sepanjang sejarah peradaban manusia, Al-Qur'an merupakan satu-satunya kitab suci yang tetap terjaga keasliannya, berbeda dengan kitab suci umat lain yang telah mengalami distorsi dan campur tangan manusia sehingga keotentikannya sudah amat diragukan. Kandungan Al-qur'an yang teramat agung menjadui pegangan hidup umat islam hingga yaumil qiyamah nanti, di dalam Al-Qur'an kita tidak hanya akan menemukan tentang perkara yang mengatur hubungan antara makhluk dengan sang khalik-nya, akan tetapi didalam al-Qur'an bertaburan ayat-ayat yang mengajarkan kita akan hakikat penciptaan alam semesta, sejarah, hukum, hubungan masyarakat, perkara rumah tangga dan masih banyak lagi kandungan agung yang terdapat didalam al-Qur'an yang kesemuanya itu merupakan tuntunan bagi ummat mmanusia agar selamat di dunia dan akhirat.
Al-qur'an Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi ummat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kebahagiaan mereka bergantung pada kemampuan memahami maknanya, Pengetahuan rahasia-rahasia dan pengamalan apa yang terkandung didalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-qur'an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya sedemikian gamblang, jelas dan rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah satu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahiriyah yang bersifat global. Sedangkan kalangan cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur'an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata yang gharib atau dalam mena'wilkan suatu redaksi kalimat.
Dalam perkembangannya, berbagai macam corak dalam menafsirkan al-Qur'an berkembang dengan pesat baik dari kalangan para Salafus Shalih hingga para ulama khalaf abad ini . Selama ini kitab tafsir al-Qur’an yang dikenal umat Islam Indonesia adalah kitab tafsir karangan ulama luar. Sebut misalnya kitab tafsir Ibnu Katsîr, kitab tafsir at-Thabâri, kitab tafsir al-Mannar karya Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha, dan kitab tafsir fî dzilâlil qur`an tulisan Sayyid Qutb. Semuanya berbahasa arab.
Indonesia sebetulnya juga memiliki kitab -kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama nusantara dengan memakai bahasa Indonesia salah satu diantara ulama Indonesia yang juga turut andil dalam membuat sebuah karya tafsir Al-Qur'an ialah A.Hasan yang beliau beri judul dalam karya tafsirnya yaitu tafsir Al-Furqan yang Insya Allah akan sedikit penulis bahas.



Sekilas Tentang A. Hasan


A.Hasan lahir di singapura tahun 1887 Ia terlahir hasil pernikahan Ahmad dengan Muznah. Mereka menikah di Surabaya, ketika Ahmad sedang melakukan perjalanan perdagangannya di kota dagang itu. Usai menikah, Ahmad memboyong Muznah ke Singapura. Meski lahir di Surabaya, Muznah berasal dari Palekat, Madras.
Selain berdagang, Ahmad adalah seorang wartawan. Ia adalah pemimpin koran Nurul Islam yang terbit di Singapura. Ahmad ahli dalam bahasa dan agama, dan ia tak jarang terlibat perdebatan mengenai dua soal itu. Di dalam surat kabarnya, Ahmad mengasuh rubrik tanya jawab.
Ibarat pepatah, “Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Begitu pula dengan Hassan, rupanya, juga mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Sejak usia 7 tahun, Hassan sudah belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama. Lalu, ia masuk sekolah Melayu, dan belajar bahasa Melayu, Arab, Inggris, dan Tamil. Dengan ilmu alat itulah Hassan secara otodidak memperdalam agama, seperti Fara’id, Fiqh, Mantiq, Tafsir, dan lain-lainnya.
Secara formal, Hassan tak pernah bernar-benar menamatkan pelajarannya di sekolah dasar yang ditempuhnya di Singapura itu. Soalnya, di usia 12 tahun, Hasan sudah ikut berdagang, menjaga toko milik iparnya, Sulaiman. Sambil berdagang, Hassan memperdalam ilmu agamanya pada Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road untuk belajar ilmu Nahwu dan Saraf.
Ketika usianya masih remaja, Hassan sudah mencari nafkah, dari pelayan toko sampai membuka vulkanisir ban. Setelah ilmunya dirasa cukup, pada tahun 1910, Hassan mengajar di di madrasah, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Tsnawiyah.
Pada tahun 1912, Hassan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press. Hassan menulis artikel yang berisikan nasihat-nasihat, mengajak pada kebaikan, dan menjauhi kemunkaran. Tidak jarang, Hassan menulis dalam bentuk puisi yang cukup menggelitik dan menyentuh.
Dalam perkembangannya, tulisan Hassan mulai menemukan bentuknya. Yakni, punya sikap yang tegas terhadap persoalan yang, menurut dia, masuk ke wilayah prinsip. Hassan, misalnya, mengecam keras terhadap Qadli (hakim) yang memeriksa perkara dan mengumpulkan antara pria dan wanita di tempat duduk yang sama. Di surat kabar ini, Hassan bekerja sampi tahun 1916.
Suratan takdir Hassan rupanya tidak hanya mukim di Singapura. Pada tahun 1921, Hassan berangkat ke Surabaya, mengelola toko milik paman yang sekaligus gurunya, Abdul Lathif. Sebelum berangkat, Abdul Lathif berpesan pada sang keponakan, jangan bergaul dengan Faqih Hasyim yang dianggap sesat karena berfaham Wahabi.
Rupanya, di Surabaya, waktu itu, sedang terjadi konflik antara kaum tua dengan kaum muda yang dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pedagang yang sekaligus pendakwah. Fakih Hasyim, yang berasal dari Padang itu, menggunakan rujukan dari buku-buku yang dikarang oleh Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Zainuddin Labay –ketiganya asal Sumatera—dan Ahmad Soorkati, ulama asal Sudan yang mukim di Jakarta (dulu masih bernama Batavia).
Hassan datang ke Surabaya, awalnya, semata-mata hanya sebagai pedagang. Ia tinggal di rumah pamannya yang lain, Abdullah Hakim. Suatu hari, sang paman meminta agar Hassan menemui KH A Wahab Hasbullah. Belakangan, Kiai Wahab menjadi terkenal karena ia adalah salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Dalam pertemuan itu, Kiai Wahab bertanya pada Hassan, hukum membaca ushalli. “Pak kiai, ushalli itu hukumnya sunnat,” jawab Hassan.“Dasarnya apa?” pak Kiai kembali bertanya.“Kalau itu, bisa dicari di kitab mana pun,” jawab Hassan. Dalam benaknya, Hassan bertanya-tanya, masalah yang ringan seperti ini kok ditanyakan?
Rupanya, Kiai Wahab sedang menjajagi Hassan. Pak kiai juga menyampaikan pada Hassan, bahwa di Surabaya, sedang terjadi “perang dingin” antara kaum tua dengan kaum muda. Kiai Wahab lalu meminta Hassan untuk mencari dalil-dalilnya di dalam Al-Quran dan hadits. Hassan minta waktu sehari. Ia semalaman mencari dalillnya ushalli di kitab-kitab Sahih Bukhari-Muslim, juga ayat-ayat Al-Quran. Ternyata, masalah ushalli tak ditemukannya. Hassan akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa pandangan kaum muda ada di jalur yang benar. Maka, ia pun bersahabat dengan Faqih Hasyim yang mewakili golongan muda.
Hassan masuk Persis tatkala ormas Islam ini berusia 3 tahun. Dan rupanya, ia segera populer di kalangan kaum muda yang progresife. Tahun tahun berikutnya, Hassan identik dengan Persis, begitu pula Persis, identik dengan Hassan.
Sepanjang hidupnya, Hassan mempunyai seorang istri, Maryam, yang dinikahinya di Singapura pada tahun 1911. Maryam adalah seorang peranakan Tamil-Melayu, dari keluarga yang taat berpegang pada agama. Dari pernikahannya ini, pasangan Hassan-Maryam punya 7 anak, satu di antaranya, Abdul Qadir Hassan, yang juga penerus ayahnya. Pada tahun 1940, Hassan pindah ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Persis. Pada 10 November 1958, Hassan menghadap pada-Nya.
Ahmad Soorkati, ulama asal Sudan yang juga pendiri jamiyah Al-Irsyad itu, memberi komentar tentang Ahmad Hassan, “Sebagai seorang yang terpelajar, mempunyai tingkatan tauhid yang tinggi, dan seorang pembela agama Allah yang selalu berjuang menghindarkan umat Islam dari kesesatan.”
Sebagai manusia, Hassan punya batasan usia. Ia telah tiada. Tapi, semangat pemurnian Islam yang dikumandangkannya, dan ilmu yang diwariskannya, tak pernah pudar.Selain buku Soal-Jawab dan at-Tauhid yang sangat terkenal itu, Hassan juga menulis tentang Pemerintahan Cara Islam, ABC Politik, Islam dan kebangsaan, dan Merebut Kekuasaan. Buku Soal-Jawab, misalnya, merupakan rujukan bagi persoalan hidup sehari-hari, dari masalah fikih, akhlak, sampai akidah.
Selama ini, ada kesan, bahwa Hassan berperangai keras dan kritikannya tajam menghujam, seakan tidak melihat kondisi psikologis orang yang dikritiknya. Tapi, kesan itu akan sirna ketika mereka melihat Hassan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang ternyata sangat lembut, baik ucap maupun geraknya.

Analisis Metodologi Tafsir Al-Furqaan Karya A.Hasan


Profil Kitab Tafsir Al-Furqaan.

Penulisan tafsir Al-Furqan berlangsung berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi kedalam empat edisi penerbitan sampai sekarang. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat Islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi ke dua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa'ad Nabhan hingga akhirnya tulisan Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar Indonesia, dalam satu jilid.

Metode penerjemahan tafsir al-Furqan ini menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata, kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan secara harfiah, akan tetapi penulis menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia memberikan kesimpulan bahasan pada setiap akhir surat.

Tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar dalam satu jilid.

Metodologi Penafsirannya


Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa metode tafsir yang dipakai A. Hassan adalah metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Seperti perkataan beliau yang kami kutip dari muqadimah kitab Al-Furqan cetakan Pustaka Mantiq yang bekerja sama dengan Universitas A-Azhar Indonesia Cetakan 2006, "Dalam menerjemahkan ayat, sedapat mungkin saya lakukan pad setiap kata. Jika cara itu tidak dapat dilakukan, baru saya menerjemahkan suatu kata dengan melihat maknanya, karena menurut saya, cara itu akan berguna bagi orang yang teliti dalam melihat tejemahan." Hal ini dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli dalam terjemahnya. Akan tetapi metode ini pula diakui oleh beliau tidak menghasilkan terjemahan yang mudah difahami oleh setiap orang yang membacanya, dan tidak begitu sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa hal beliau menerjemahkan secara maknawiyah.
Contoh penerjemahan beliau ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau menerjemahkan 'qaala lahu'. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti 'dia berkata baginya', tapi beliau menerjemahkan 'dia berkata kepadanya'. Contoh lain 'aamanaa billaahi', biasanya diterjemahkan 'dia percaya dengan Allah', tetapi beliau terjemahkan 'dia percaya kepada Allah'.
Dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur'an, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti, menurut bahasa Arab, frasa al-hamdu lillaahi diterjemahkan dengan 'segala puji (hanya milik) Allah, Tuhan semesta alam', tetapi Lillaahil-hamdu diterjemahkan 'kepunyaan Allah-lah segala pujian'. Na'buduka diterjemahkan 'kami menyembah-Mu' tapi iyyaka na'budu diterjemahkan 'hanya Engkaulah yang kami sembah'. Huwa samii'un diterjemahkan 'Dia Yang Mendengar', tetapi huwa samii'u diterjemahkan Dialah Yang Maha Mendengar'.

Adapun jika kita lihat, sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :


1. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh

Menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.


2. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.


3. Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun

tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai

pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat

urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal :
a. peristiwa
b. pelaku, dan
c. waktu.
4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan

dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in

maupun tokoh tafsir

Keistimewaan Metodologi Ijmaly
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Adapun keistimewaannya dapat kita lihat dari cirri-ciri khas metode ijmali, antara lain:

Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’I (tematik).

Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.

Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.

Analisa Terhadap Tafsir Al-Furqaan
Dalam menganalisa tafsir Al-Furqaan alangkah baiknya jika kita mencoba memahami definisi dan perbedaan Tafsir, Ta'wil dan Terjemah

Definisi Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan "taf'il," artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan "dharaba-yadhribu" dan "nashara-yanshuru." Dikatakan: "fasara asy-syai'a yafsiru" dan "yafsuru, fasran," dan "fassarahu," artinya "abanahu" (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul 'Arab dinyatakan kata "al-fasr" berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata "at-tafsir" berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil .
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, "Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadzn Al-Qur'an, indicator-indikatornya, masalah hokum-hukumnya baik yang independent maupun yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.
Menurut Az-Zarkasyi, "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, Menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hokum dan hikmah-hikmahnya."


Definisi Ta'wil
Adapun ta'wil berbeda dengan tafsir. Menurut ulama salaf, ta'wil mengandung dua pengertian, yaitu:
1. Ta'wil ialah mena'wilkan kalamullah dan menjelaskan pengertiannya, baik sesuai dengan

makna dzahir dan bertentangan. Maka menurut pendapat ini kata ta'wil muradif (sinonim)

dengan kata tafsir.
2. Ta'wil ialah maksud kalimat itusendiri, jika kalimat itu menunjukan tuntutan (perintah atau l

arangan), maka takwilnya adalah perbuatan yang ditntut itu. Jika kalimat itu berupa

khabar, maka takwilnya adalah sesuatu yang diberitaka itu.

Adapun menurut ulama mutaakhirin, para ahli fiqih, ahli ilmu kalam, ahli hadits dan ahli ilmu tasawuf, takwil adalah memalingkan lafaz dari makna yang rajah kepada makna yang marjuh karena ada dalil yang menghendaki.
Perbedaan antara tafsir dengan ta'wil, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani ialah tafsir itu lebih umum dari pada ta'wil. Kebanyakan penggunaan tafsir itu dalam lafadz, sedangkan ta'wil dalam makna menafsirkan mimpi. Kebanyakan ta'wil itu dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan, sedangkan tafsir dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan lainnya. Kebanyakan tafsir dipergunakan dalam mufradat lafadz. Ta'wil itu kebanyakan dipergunakan dalam kalimat-kalimat.

Definisi Terjemahan
Menurut bahasa terjemah artinya memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain (alih bahasa). Sedangkan menurut istilah adalah mengungkapkan pengertian kalimat dalam suatu bahasa dengan kalimat bahasa lain lengkap dengan seluruh pengertian dan maksud-maksudnya.
Dalam kaitannya dengan istilah menterjemah Al-Qur'an, Az Zurqany membaginya kae dalam dua bagian, yaitu:
Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang susunan dan urutan-urutan katanya selalu terpelihara, sehingga menterjemah itu sama dengan sama dengan meletakan kata-kata persamaan (sinonim) dengan sinonimnya (ke dalam bahasa baru). Sebagian orang menyebut terjemahan ini dengan terjemah lafdziah (leterlijkl) dan sebagian orang menyebutnya dengan musawiyah.
Menurut Alwi bin As-Syayyid Abbas, bahwa terjemahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata

persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah

terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
b. Terjemah harfiyah bi duunil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata

persamaan dari bahasa yang baru, dengan memperhatikan urut makna dan rahasia sastra

di bawah kemampuan bahasa yang baru dan kemampuan orang yang menterjemahkan.
c. Terjemah tafsiriyah/maknawiyah, yaitu terjemah yang tersusun dan urutan-urutan kata-

katanya tidak terpelihara. Yang dipentingkan ialah baiknya pengertia-pengertian dan

tujuan-tujuannya secara sempurna. Oleh karena itu disebut juga dengan terjemahan

maknawiyah. Dan disebut tafsiriyah karena baiknya pengertian dan tujuan dari pada kalam

sehingga menyerupai tafsir, namun bukan tafsir.

Makna Metode Terjemah Harfiyah dalam Al-Furqaan
Metode terjemah harfiyah di sini maksudnya adalah seperti sebagai berikut:
Qur’an ketika masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf, merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Qur’an itu diterjemahkan, Qur’an dalam bentuk yang kedua ini merupakan hasil ijtihad seorang manusia yang mencoba memahami dan mengalih bahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penerjemah mempunyaai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir. Dimana seseorang harus menggunakan ijtihad dalam menerjemahkan suatu ayat dalam hal memilih makna yang tepat, seperti halnya dalam terjemah maknawiyah yang disebut juga terjemahan tafsiriyah. Sehingga kemungkinan dengan adanya penerjemahan maknawiyah ini lah yang menyebabkan al-Furqaan dikatakan sebagai kitab tafsir.
Satu sisi bahasa Arab terlalu kompleks untuk dimaknai dengan bahasa Indonesia, yang pada banyak bagian masih terbatas dalam memberikan padanan terhadap konsep kata dalam bahasa Arab. Sebagai contoh kata خوف dan kata خشية , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan ‘takut’. Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda. Kata خشية mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata خوف. Kata خشية mengandung arti ‘rasa takut yang besar bercampur baur dengan rasa hormat, meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat’, sedangkan kata خوف lebih berarti ‘ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti’.
Oleh karena itu makna harfiyah dalam al-Furqaan adalah pengalihan bahasa yang mengindikasikan kepada tafsiran ayat dengan metode pemilihan arti kata yang sesuai dan mengena untuk menghasilkan makna yang dapat dimengerti.

Tafsir Al-furqaan Lebih Cenderung Sebagai Terjemah Al-Qur'an

Ketika melihat tafsir Al-Furqan, dan membuka lebaran-lembarannya, maka kesan awal yang tersirat adalah bahwa itu sebuah kitab terjemah Al-Quran, bukan kitab tafsir. Karena tidak ada kesan seperti kitab tafsir pada umumnya. Al-Furqaan seperti terjemah Al-qur'an sebagaimana terjemahan yang lainnya, yang dibubuhi dengan catatan kaki. Itupun tidak semua surah ada catatan kakinya, bahkan ada surah yang sama sekali tidak ada catatan kakinya, seperti surah Quraisy. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lainnya, dimana penjelasan atas suatu ayat terurai panjang dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik tafsir itu ma'tsur ataupun ra'yi, seperti halnya tafsir Ibnu Katsir, tafsir Hamka dan lainnya.
Seperti diurai diatas, tafsir dan terjemahan berbeda secara definisi dan juga penempatannya. Jika tafsir adalah mengurai makna-makna. hukum-hukum, dan hikmah-hikmahnya, sementara terjemah hanyalah sebatas memindahkan bahasa Al-Qur'an ke dalam bahasa-bahasa lainnya.

Adapun metode harfiah yang dimaksud adalah metode dalam penerjemahan, bukan dalam penafsiran. Seperti yang telah diurai di atas, dalam penerjemahan ini A. Hasan cenderung memakai metode terjemah harfiyah dan kemudian ada beberapa bagian yang diterjemahkan secara maknawiyah. Jika dikatakan Al-Furqaan adalah tafsir, maka yang jadi pertanyaan adalah, apa metode yang dipakai? Perhatikan dengan seksama tentang catatan-catatan yang A. Hasan bubuhkan pada al-furqaan. Catatan –catatan tersebut singkat dan hanya menjelaskan maksud ayat yang kurang jelas secara singkat dan umum. Melihat dari sana, maka metode yang dipakai oleh A. Hasan dalam menafsirkan Al-Quran adalah dengan memakai metode ijmali. Adapun metode ijmali A. Hasan terkesan hanya seperti terjemah biasa yang diberikan catatan-catatan kecil. Sementara jika kita rujuk kepada definisi tafsir secara umum, bahwa tafsir merupakan ilmu memahmi al-Qur'an dengan menjelaskan makna-maknanya, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya yang didukung dengan ilmu-ilmu ushul lainnya. Lalu jika tafsir al-Qur'an hanya seperti itu (seperti terjemah al-Qur'an biasa), maka kita tidak dapat memahami apa-apa, atau sebatas apa yang kita fahamai pada terjemahnya saja. Adapun yang tersirat di dalam ayat-ayat al-Quran yang syarat dengan makna tidak kita dapatkan secara eksplisit.

Mayoritas A. Hasan Menggunakan Metode Ijmaly dalam Tafsir Al-furqaan
Seperti yang telah disebut di atas, A. Hasan memakai metode ijmali dalam menafsirkan Al-Qur'an. Dimana tafsir itu hanya menafsirkan ayat secara global, sehingga makna-makana yang tersirat di dalamnya tidak dapat diungkap secara lengkap (Konferhensif).
Ketika kita membuka tafsir Al-Furqaan dan melihatnya sebagai sebuah kitab tafsir, maka metodologi apa yang diterapkan akan membuat kita sedikit kebingungan dalam memahaminya. Dalam mkajian yang penulis lakukan ternyata A.Hasan juga di beberapa surat dan ayat dalam al-Qur'an menggunakan metode bil ma'tsur, Bdan bil Ra'yi sehingga tafsir Al-Furqaan ini sebenarnya juga bisa disebut sebagai tafsir yang menggunakan metode bil Ma'tsur dan bil Ra'yi akan tetapi dikarnakan metode yang mendominasi tafsir Al-Furqaan ini adalah metode Ijmali maka penulis berkesimpulan bahwa metode tafsir Al-Furqaan karya A.Hasan ini Menggunakan metode Ijmaly.

Sebagai bukti bahwa A.Hasan juga menggunakan beberapa metode dalam menafsirkan Al-Qur'an didalam Tafsir Al-Furqaannya berikut akan saya komparasikan beberapa surat dan ayat yang ternyata A.Hasan menggunakan metode bil Ma'tsur, Ijmaly dan ternyata Tawaqquf juga..^_^….


Surat at-Takatsur


اَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقََابِرَ (2) كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (3) ثُمَّ كَلاَّسَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (4) كَلاَّ لَوْتَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ (7) ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ (8)

1. Berlebih-lebihan telah melalaikanmu, <1>
2. Hingga kamu melawat kubur. <2>
3. Tidk sekali-kali, <3> (bahkan) kamu akan mengetahui,
4. dan <4> tidak sekali-kali, (bahkan) kamu akan mengetahui.
5.Tidak sekali-kali, (alangkah baiknya) kalau kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
6. Sesungguhnya kamu akan melihat neraka itu,
7. dan4 sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan penglihatan yang yakin,
8. Kemudian sesungguhnya kamu akan diperiksa pada hari itu tentang kenikmatan. <5>

Penjelasan :

<1>. Kamu telah lalai karena harta benda, kemuliaan, kesenangan dan banyak lainnya.


<2>. Yakni, hingga kamu mati.


<3>. Persangkaanmu bahwa harta dan kemuliaanmu dapat menolongmu itu tidak benar

sama sekali.


<4>. Kata sambung "dan" dalam dua ayat itu padanan dari kata "tsumma' yang makna

asalnya adalah 'kemudian', tetapi dibeberapa tempat dipakai dengan arti "dan".


<5>. Kamu akan diperiksa, untuk urusan apa kamu membelanjakan nikmat-nikmat

pemberian…


Surat al-Ma'un


اََرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّ بُ بِا الدِّيْنِ (1) فَذَا لِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ (4) الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَاهُوْنَ (5) الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ (6) وَيَمْنَعُوْنَ الْمَا عُوْنَ (7)

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan diin? <1>
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. <2>
4. Kecelakaan akan didapat oleh orang-orang yang shalat, <3>
5. yang lalai dari shalatnya, <4>
6. yang riya', <5>
7. Dan enggan memberikan pertolongan. <6>

Penjelasan :
<1>. Kata diin dapat berarti agama, pembalasan, atau ibadah.


<2>. Orang yang dimaksud di dalam ketiga ayat ini adalah orang munafik.


<3>. Kecelakaan di akhirat akan menimpa orang-oarang munafik seperti yang disebutkan

dalam ayat-ayat di atas, yang shalat bersama orang-orang Islam.


<4>. Yang lalai dari memperhatikan isi shalatnya, Karen memang mereka tidak shalat karena

Allah.
<5>. Yang berbuat sesuatu supaya dilihat dan dipuji orang lain.


<6>. Yakni, tidak mau member pertilingan kepada orang islam atau untuk urusan islam.

Surat al-Ashr


وَالْعَصْرِِ (1) اِنَّ الاِنْسَا نَ لَفِيْ خُسْرٍ (2) اِلاَّ الَّذِيْنَ أمَنُوْا وَعَمِلُواالصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْابِا لْحَقِّ وَتَوَاصَوْابِا لصَّبْرِ (3)

1. Perhatikanlah masa.
2. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal baik dan saling berpesan untuk (menjalankan) kebenaran dan saling berpesan untuk (menjalankan) kesabaran.<1>

Penjelasan :
<1>. Manusia hidup dalam masa. Masa itu penting. Merugilah manusia yang melewatkan

masanya dengan tidak mengerjakan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk

lingkungannya.

Surat Yunus Ayat 19


وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلآّّ اُمَّةًوَّاحِدَةًفَاخْتَلَفُوْا وَلَوْلاَكَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيْمَا فِيْهِ يَحْتَلِفُوْنَ (19)


19. Tidak ada manusia itu dulunya melainkan umat yang satu, lalu mereka berselisih; jika

tidak ada kalimah dari tuhanmu Allah yang terdahulu, niscaya telah diberi keputusan

diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. <1>


Penjelasan:
<1.> Manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga,

tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berbeda-beda,

timbulah berbagai kepercayaan yng menimbulkan perpecahan; oleh karena itu Allah

mengutus Rasul yang membawa wahyu dn memberi petunjuk kepada mereka. Baca

Ayat 213 Surat Al-Baqarah.


Surat Yunus Ayat 26


لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْحَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَذِلَّةٌ أُولآءِكَ اَصْحَابُ الْجَنَّةِهُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ (26)


26. Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada) kebaikan dan tambahan, wajah mereka-pun tidak tertutup dengan warna hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah ahli syurga yang akan kekal di dalamnya.

jika kita perhatikan ketiga surat yaitu surat at-Takasur, al-Ma'un dan al-Ashr serta ayat 19 dan 26 pada Surat Yunus yang saya nukil dari tafsir al-Furqan terbitan CV. Mantiq Jakarta. Jika diteliti terjemahannya dan catatan-catatannya, sepintas seperti terjemahan biasa. Lihat pula cara A. Hasan menerjemahkan ayat. Kita akan sedikit kesulitan dalam memahaminya. Struktur kalimat yang digunakan sesuai dengan struktur dalam bahasa aslinya. Proses terjemah dilakukan perkata tanpa merubah struktur terjemahan menjadi sesuatu yang mudah difahami. Itulah yang disebut sebagai metode Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.

Jika kita perhatikan surat al-'ashr Tiga ayat yang ada dalam surat tersebut hanya ditafsirkan dengan singkat saja. Tanpa diterangkan Masa itu apa, bagaimana, seperti apa, lalu kerugian yang bagaimana yang dimaksudkan di sana, dampaknya dan lain sebagainya. Sementara dalam al-furqan hanya dituliskan keterangan dalam bentuk end note saja dari A. Hasan , adapun dalil-dalilnya tidak diungkapkan. Begitupun dengan surat at-Takasur dan al-Ma'un sehingga metode ini lebih condong ke arah metode Ijmaly dan metode inilah yang banyak dipakai oleh A.Hasan didalam Tafsirnya Al-Furqaan ini. Berbeda dengan penafsiran A.Hasan pada ayat 19 Surat Yunus, disini A.Hasan Menafsirkan Ayat dengan Ayat atau yang biasa disebut juga dengan metode penafsiran bil ma'tsur. Beda pada ayat 19 beda pula pada ayat 26 surat Yunus, pada ayat ini A.Hasan bersikap tawaquf (Berdiam Diri) pada tafsir Al-Furqaan-nya. Padahal ayat ini sangat penting untuk ditafsirkan mengingat makna kata "Nikmat tambahan" pada ayat tersebut belum jelas apa maksudnya. Tapi kita tidak akan mendapatkan penafsiran ayat ini didalam tafsir Al-Furqaan.

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Tafsir Al-Furqaan ini merupakan tafsir Al-Qur'an yang memberi kemudahan dalam mengurai makna kandungan ayat secara ringkas dan padat serta bersifat global, yang dengan metode ini dapat dengan mudah dimengerti oleh orang yang masih awam sekalipun.

Metode harfiyah dalam kitab al-furqaan adalah metode dalam penerjemahannya bukan dalam hal penafsiran, karena berbeda antara terjemah dengan tafsir. Adapun dalam hal penafsiran A. Hasan lebih banyak menggunakan metode ijmali Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.

Kalau ditelaah secara mendalam dari sisi ilmu tafsir dan terjemah, Sebenarnya Al-furqaan cenderung kepada terjemah al-Qur'an, bukan tafsir. Ini terkait dengan definisi tafsir yang menggariskan bahwa tafsir itu merupakan Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur'an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu, seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun. Adapun catatan-catatan akhir itu, bagi pemakalah kurang mewakili apa yang harus ditafsirkan.
Dalam pembahasan yang telah lalu mungkin pembaca akan bingung kesimpulan akhir yang akan saya pilih mengingat dalam pembahasan lalu saya mengatakan bahwa:
Tafsir Al-Furqaan lebih cenderung sebagai terjemah Al-Qur'an
Tafsir al-Furqan Lebih Mendominasi metode Penafsirannya secara Ijmaly
Tafsir Al-Furqaan Juga Bisa disebut sebagai tafsir dengan metode bil-ma'tsur khusus pada ayat-ayat tertentu yang memang memenuhi standar penafsiran dengan metode bil Ma'tsr.
Maka penulis, sekali lagi menyimpulkan bahwa Metode yang dipakai A.Hasan dalam tafsirnya Al-Furqaan adalah metode Ijmaly, karena metode inilah yang paling banyak dipakai A.Hasan dalam Tafsirnya Al-Furqaan.
Adapun kesimpulan-kesimpulan yang telah lalu penulis akui sebagai sebuah kebingungan penulis dalam menelaah tafsir Al-Furqaan ini yang begitu unik dan terkesan sangat berbeda dengan tafsir-tafsir yang lainnya yang sudah mahsyur dikalangan umat islam seperti tafsir Ibnu katsiir, At-Thabaary, Fii Dzilalil Qur'an, Al-mannar dan lain sebagainya.

Usaha A.Hasan dalam menyusun tafsir al-Furqaan ini haruslah disikapi sebagai sesuatu karya tokoh islam yang patut disyukuri Keberadaannya. Meskipun terdapat kekurangan disana-sini tidaklah lantas membuat karya ini cacat seluruhnya sehingga tidak boleh dibaca dan dibuka sama sekali. Karena sesungguhnya faedah dan pelajaran yang banyak akan kita dapatkan didalam tafsir ini. Bagi umat islam tentunya tafsir Al-Qur'an ini merupakan sebuah karya yang akan membuka dan menambah wacana kita terhadap isi kandungan Al-Qur'an secara singkat dan mudah dengan gaya dan corak pemikiran ulama A.Hasan.
Wallahu 'Alam Bish Shawab



Daftar pustaka


Hasan, Ahmad, Al-Furqaan Tafsir Al-Qur’an (Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir), Jakarta: CV. Pustaka Mantiq, 2006, Cet. I

Mohammad, Herry, dkk., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, Cet. I

Amanah, H. St., Pengantar Ilmu Al-Qur'an dan Hadits, Semarang : CV As-Syifa, 1994, Cet. II
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. III

DEPAG RI, Muqadimah Al-Quran dan Tafsirnya,1990

www.percikaniman.org

http://muh-ali.blogspot.com/search?q=al+furqan

www.kampusislam.com

__________________________________________________________________________

*Mahasiswa Semester 1

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

SEKOLAH TINGGI ILMU DA'WAH MUHAMMAD NATSIR

Copyright: www.maulana2008.co.cc

Silahkan Dicopy Untuk Kemaslahatan Da'wah Islam dengan Mencantumkan Sumbernya: www.maulana2008.co.cc

Pemikiran Hukum A.Hassan

PEMIKIRAN HUKUM A. HASSAN

Oleh: Drs. Tatang Sutardi, M.HI.

1. Pendahuluan

A. Hassan merupakan pemikir muda dengan gagasan segar yang tergolong kontroversial. Pemikiran A. Hassan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat ketika melihat latar belakang budaya dan pendidikannya ketika kecil di Singapura yang lebih banyak bergelut dengan pemikiran Islam ortodoks. Kondisi tersebut berubah drastis ketika A.Hassan berinteraksi dengan para pemikir muda, seperti Faqih Hasyim dari Surabaya yang pola pikirannya bercorak salafi.

Bukan hanya pergulatan pemikiran individu yang mempengaruhi pemikiran A. Hassan, melainkan juga faktor lingkungan dan pergaulan, khususnya ketika beliau tinggal untuk beberapa lama di Bandung. Di sana, beliau banyak berinteraksi dengan H. Zamzam dan Mohammad Yunus yang memiliki organisasi bernama Persis. A.Hassan masuk Persis terhitung tiga tahun setelah berdirinya Persis yaitu tahun 1926 sedangkan Persis lahir pada tanggal 11 September 1926. dalam organisasi tersebut A.Hassan bukan hanya belajar, akan tetapi juga berusaha mengaplikasikan pengalaman yang ia peroleh sebelumnya, maka terjadilah konfigurasi kekuatan antara pemikiaran A.Hassan yang progresif dengan sifat Persis yang waktu itu tergolong keras. Kekuatan tersebut berubah menjadi gerakan pembaruan yang mudah meluas.

A. Hassan merupakan tokoh yang amat gigih dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di masanya. Gagasan dan pemikirannya banyak ditulis dalam karya-karyanya yang tidak kurang dari delapan puluh judul. Beliau merupakan penulis tafsir pertama di Indonesia.

A. Hassan banyak bergerak lewat media diskusi, mengadakan tabligh, mengadakan kursus pendidikan, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku serta majalah. Distribusi cetakan-cetakan Persis semakin membuat pemikiran A.Hassan begitu populis di kalangan masyarakat. Selain bermain pada wilayah tulisan, A.Hassan juga banyak bermain dalam lingkup diskusi atau perdebatan.

Dalam berdakwah, A. Hassan seringkali menggunakan metode debat tentang segala sesuatu yang terkait dengan problem keagamaan. Cara tersebut memberikan kepuasan tersendiri di setiap kalangan masyarakat yang mengikuti acara tersebut. Akhirnya nama A.Hassan populer dan tersiar ke berbagai peloksok dan memperkuat lembaga dan organisasi Persis sebagai gerakan Islam progresif.

A. Hassan banyak menelorkan tokoh kenamaan di Indonesia, khususnya di tubuh Persis. Tokoh-tokoh Persis yang merupakan didikan A. Hassan, antara lain Muhammad Natsir, seorang tokoh dan pemimpin Masyumi, M. Isa Ansyari, Endang Abdurahman dan Rusyad Nurdin[1]

2. Biografi A.Hassan

Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar berasal dari India yang kemudian dikenal dengan nama Islamnya Ahmad. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Keduanya menikah di Surabaya kemudian menetap di Singapura[2]. Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli, akhirnya nama Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan[3].

A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa‘id, (7) Manshur[4].

A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain[5].

Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsir, fiqh, fara‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak[6]

Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi “Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtil?th). Bahkan pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.

Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi[7].

Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam[8]. Karena seluruh waktunya dapat dikatakan untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini, akhirnya A. Hassan terkenal dengan sebutan Ahmad Hassan Bandung[9].

A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imam yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zad al-Ma‘ad karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthar karya Muhammad Ali al-Syawkaniy, dan Subul al-Salam karya al-Shan‘aniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya[10].

Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur, H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.

A.Hassan pernah menjadi guru spiritual Sukarno ketika mengalami pembuangan di Plores, sehingga Sukarno dapat memahami konsep keislaman dan merasa ketagihan dengan gagasan-gagasan progresif yang dimiliki A.Hassan[11].

Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himayat al-Islam yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.

Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan, Hud Abdullah Musa, Luthfie ‘Abdullah Isma’?l, selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli, Ahmad Husnan, Muhammad Haqqiy, dan masih banyak yang lain.

A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:

1. Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir: Tafsir Al-Furqan, Tafsir Al-Hidayah, Tafsir Surah Yasin, dan Kitab Tajwid.

2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushul Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fatihah, Risalah Haji, Risalah Zakat, Risalah Riba, Risalah Ijma‘, Risalah Qiyas, Risalah Madzhab, Risalah Taqlid, Al-Jawahir, Al-Burhan, Risalah Jum‘at, Hafalan, Tarjamah Bulug al-Maram, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara‘idh.

3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara Islam.

4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.

5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjal, Al-Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-‘Aqa’id, al-Munazharah, Surat-surat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?

6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtar, Sejarah Isra‘ Mi’raj,

7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair, First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab Tashrif, Kamus Al-Bayan, dan lain-lain[12].

3. Pemikiran A. Hassan Tentang Hukum (Metode Istinbat al-Hukm)

A. Hassan berpendapat bahwa Allah swt. telah menetapkan aturan-aturan dan pola-pola standar yang dikenal manusia sebagai hukum. Hukum agama (syariat) mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan memerintahkan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dan menjauhi tindakan-tindakan lainnya. Tujuan dari hukum agama adalah menguraikan perintah dan kehendak Tuhan agar manusia dapat melaksanakannya, karena tanpa hukum agama, tidak akan ada cara yang riil untuk mengetahui apa yang Allah perintahkan kepada manusia. Karena alasan inilah Allah memberi manusia hukum agama dalam bentuk Alquran dan Hadis sebagai petunjuk dan tuntunan[13].

Selain klasifikasi umum tentang seluruh tindakan manusia, hukum agama juga membahas soal ibadah, perkara-perkara duniawi dan tingkah laku personal. Dalam soal ibadah, hukum agama mengatur sebagian besar ritual dan aturan peribadatan, semisal shalat, puasa, upacara penguburan, akikah dan qurban, bahkan persoalan-persoalan ibadah ini merupakan bagian terbesar dari hukum agama, karena terkait dengan kaidah dan aturan-aturan yang tidak dapat diambil dari penalaran manusia, melainkan hanya dari wahyu.

A. Hassan membagi aspek-aspek duniawi hukum agama kedalam dua bagian, yaitu yang pertama berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kaum muslim sendiri seperti nikah, sedekah, waris, hukum makanan, berjuang mempertahankan agama dan sejenisnya. Hukum-hukum ini tidak mengikat non muslim yang tinggal di wilayah muslim. Bagian kedua adalah yang mengikat muslim dan non muslim yang tinggal di wilayah muslim seperti perdagangan, hubungan kerja, kontrak, perjanjian damai, upah, perhimpunan, perwakilan hukum, jaminan, keamanan, kebangkrutan dan persoalan-persoalan hukum lainnya yang secara umum dianggap sebagai masalah kewarganegaraan. Hukum agama juga menyediakan hukum pidana dengan menjelaskan cara serta jumlah hukuman untuk kejahatan-kejahatan seperti penganiayaan, pembunuhan, penipuan, fitnah, mabuk-mabukan dan perzinaan[14].

A. Hassan menyimpulkan bahwa pelaksanaan yang benar atas hukum agama adalah hal penting karena dapat membedakan antara orang beriman dari orang kafir, dari para pendosa dan dari orang-orang munafik.

A. Hassan menjelaskan bahwa selain diatur oleh hukum agama, manusia juga diatur oleh hukum-hukum alam yang dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum yang bisa diterima oleh nalar dan yang diterima oleh adat kebiasaan. Dua klasifikasi hukum alam ini terkait dengan ketundukan manusia pada kejadian alam. A. Hassan tidak memberikan pedoman untuk berurusan dengan hukum ini, agaknya beliau bermaksud menunjukkan bahwa hukum ini tidak lain harus dipatuhi dan pada umumnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.

Kemudian A. Hassan mengungkapkan tentang hukum buatan yakni jenis hukum yang digunakan oleh berbagai bangsa, masyarakat, organisasi, rumah tangga termasuk hukum adat. Hukum ini merupakan hukum yang diciptakan menurut kebutuhan dan mengikat seluruh anggota kelompok yang meyakini hukum itu sebagai hukum sah. Tidak seperti hukum agama, persoalan-persoalan adat bisa saja diubah, ditambah atau dikurangi menurut kehendak komunitas yang bersangkutan[15].

Dalam ibadah, yaitu ibadah ritual, tidak boleh ada penyimpangan, penambahan atau pengurangan atas aturan dan isinya yang benar sebagaimana ditetapkan dalam Alquran dan Hadis. Allah telah menyempurnakan agama dan tidak ada inovasi dalam hal ibadah.

Tentang perkara-perkara keduniaan yang diatur oleh hukum agama, A. Hassan menyatakan bahwa ada ruang bagi perubahan dalam pelaksanaan hukum-hukum yang bersifat khusus, tetapi hukum itu sendiri tidak tunduk kepada perubahan. Contohnya perintah berupa kewajiban untuk belajar, memberi bantuan dan berjuang adalah perintah-perintah ibadah, tetapi pelaksanaan aktualnya hanya bisa dilakukan melalui adat, yaitu cara yang bisa saja berubah seiring dengan perubahan waktu dan kebutuhan sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia di muka bumi ini[16].

Karenanya, meskipun manusia pada umumnya bebas untuk mengubah hukum buatan, yaitu aturan-aturan sosial dan politik, A. Hassan mengingatkan agar hukum-hukum itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang telah meletakkan aturan-aturan minimum bagi pelaksanaan berbagai urusan manusia secara tepat. Barang siapa yang tidak memberi tempat yang layak bagi hukum agama maka dia adalah orang kafir, penjahat dan pendosa baik di dunia maupun di akhirat. Seseorang dianggap kafir jika dia meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik dari pada hukum Allah, dianggap sesat jika membuat hukum yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum agama dan dianggap berdosa jika dia mengetahui keberadaan hukum Allah tentang perkara tertentu, akan tetapi dia memberikan keputusan dengan hukum-hukum yang tidak diwahyukan Allah.

Bagi A. Hassan Alquran dan hadis memiliki arti yang sangat penting karena kedua sumber ini mempresentasikan Islam dalam bentuknya yang murni dan dalam bentuk itulah Islam dapat diadaptasi ke berbagai kondisi dan konsep yang berlaku di dunia modern. Oleh karena itu beliau sangat menekankan penggunaan Alquran dan Hadis dalam memberikan bukti-bukti bagi kebenaran pandangannya tentang masalah-masalah keagamaan, sosial, ekonomi dan politik.

4. Pemikiran Hukum A. Hassan Terhadap Kepercayaan-Kepercayaan Umum Dalam Masyarakat Indonesia.

Adalah alami bila dalam mencari sebuah Islam “murni” yang bebas dari bid’ah, A. Hassan menentang elemen-elemen kehidupan masyarakat yang diyakini bertentangan dengan hukum Islam, antara lain :

a. Makanan Ritual/Kenduri

Dalam salah satu fatwa yang diberi judul “ Kenduri Untuk Kehamilan” A. Hassan menyatakan, sejak pembuahan hingga kelahiran, tidak ada jenis perayaan tertentu yang diperintahkan oleh agama, baik itu yang disebut kenduri, slametan, pesta maupun perjamuan. Beliau menyatakan bahwa Islam memerintahkan diselenggarakannya perayaan pada saat pernikahan (walimatul ursyi), praktik pembacaan doa-doa dan syahadat dalam berbagai macam peristiwa semacam ini bukan merupakan bagian dari ibadah dan tidak seharusnya dilakukan. Fatwa A. Hassan juga menyatakan bahwa pada hari ketujuh setelah kelahiran seorang anak, kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan akikah, memberi nama untuknya dan kemudian membagi-bagikan hewan yang disembelih itu untuk para kerabat dan tetangga. Di dalam persoalan ini, tidak pernah ada pembacaan doa apapun[17].

A. Hassan menentang perayaan yang diselenggarakan di rumah pada pagi hari saat terjadi penguburan dan pada beberapa hari berikutnya untuk membacakan doa-doa tertentu dengan maksud menebus dosa si jenazah. Praktik yang biasanya dilakukan di Indonesia adalah berkumpul di rumah keluarga almarhum pada saat selesai upacara penguburan, kemudian pada hari kesatu sampai dengan hari ketujuh, hari keseratus dan hari keseribu setelah kematian[18]. Penalaran untuk praktik ini adalah bahwa pahala dapat diperoleh oleh mereka yang hadir melalui pelaksanaan ibadah sunnah seperti pembacaan zikir, membaca ayat atau surah tertentu dari Alquran, dan doa-doa khusus, dan bahwa pahala dapat diperoleh dan karenanya dapat dilimpahkan kepada almarhum sebagai pahalanya[19]. Dengan menggunakan kias, dinalarkan bahwa persoalan-persoalan kebajikan agama dapat ditransfer kepada orang lain.

A. Hassan menolak pandangan bahwa pahala yang diperoleh seorang muslim dalam kondisi tertentu dapat ditransfer kepada muslim yang lain terutama kepada orang yang sudah meninggal dunia. Beliau menyatakan bahwa tidak ada rujukan yang jelas dalam Alquran dan Hadis mengenai hal ini dan juga ditegaskan bahwa agar praktik ibadah keagamaan tertentu bisa mendatangkan pahala harus didefinisikan dalam sumber-sumber tertentu. Tidak ada serangkaian prosedur peribadatan yang digambarkan untuk pelaksanaan kenduri di rumah duka, maka tindakan semacam ini tidak bisa dianggap mendatangkan pahala bagi mereka yang melakukan praktik tersebut. A. Hassan berhujjah bahwa jika pahala dapat dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, mengapa tidak dikirimkan saja kepada orang yang masih hidup, sedangkan dalam QS. Al-Najm : 39 dan Yasin : 54 yang kedua ayat tersebut merujuk pada penilaian Allah hanya didasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan oleh masing-masing individu[20].

A. Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis tidak memerintahkan kaum muslim untuk terlibat dalam praktik doa dan pembacaan teks-teks keagamaan pada upacara kenduri dan bahwa hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin atau ulama besar manapun yang mendirikan mazhab-mazhab hukum, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

b. Wasilah Dan Pemujaan Wali

Dalam At-Tauhid, A.Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis memerintahkan agar doa ditujukan secara langsung kepada Tuhan tanpa rumusan apapun seperti dengan syafaat Nabi (memakai wasilah)[21]. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, para sahabat meminta beliau agar berdoa untuk mereka, tetapi setelah Nabi wafat, para sahabat tidak pernah meminta kepada roh beliau atau di kuburan beliau[22] untuk melaksanakan pungsi ini. Bagaimanapun, praktik yang sebenarnya di kalangan para sahabat adalah meminta seorang anggota terkemuka dari kelompok mereka untuk mendoakan mereka dan bahwa anggota yang ditunjuk itu berdoa langsung kepada Allah dan tidak pernah meminta Nabi sebagai perantara (wasilah).

Menurut A. Hassan, dua klarifikasi ini, yaitu larangan sesungguhnya atas wasilah dari Alquran dan Hadis serta ketiadaannya diantara para sahabat—juga menjelaskan persoalan wasialh dengan menggunakan para wali. Wasilah telah menggoda manusia selama berabad-abad dan bahwa para ulama telah secara terus-menerus menegaskan bahwa wasilah tidak diperbolehkan dalam Islam. Meskipun terdapat elaborasi yang berkelanjutan semacam ini, banyak muslim yang tetap cenderung berkeyakinan bahwa wasilah mungkin saja absah. A. Hassan sepakat dengan ijmak ulama dan mengungkapkan bahwa kepercayaan yang luas terhadap wasilah dapat menciptakan kembali kondisi-kondisi yang ada di Arabia sebelum kedatangan Islam. Pada saat itu, umat manusia membangun berhala-berhala agar menjadi perantara mereka dengan Tuhan dan kemudian beralih menyembah berhala-berhala itu sendiri[23].

Meskipun mengecam praktik wasilah, A. Hassan menyatakan bahwa ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum muslim selama dilakukan sesuai dengan aturan-aturan perilaku muslim yang standar. Dia menggambarkan bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan mengingat akan kehidupan akhirat. Dia menyatakan bahwa doa di kuburan seharusnya tidak ditujukan untuk membantu muslim tertentu yang sudah meninggal dunia, tetapi seharusnya menjadi bagian doa umum dan harus ditujukan untuk memintakan rahmat Tuhan bagi seluruh muslim yang telah meninggal dunia. A. Hassan menentang bid’ah dan memperingatkan kaum muslim untuk tidak terikat dengan jadwal tertentu dalam melaksanakan ziarah kubur. Dia juga memperingatkan umat Islam untuk menghindari ziarah ke kuburan-kuburan tertentu, dengan alasan bahwa hadis sahih tidak menggambarkan atau mendefinisikan prosedur yang pasti mengenai hal tersebut[24].

Dari Pemikiran A.Hassan di atas dapat dinyatakan A.Hassan memiliki pandangan bahwa Islam merupakan kebenaran tunggal yang tidak bisa diotak atik. Beliau sangat menolak praktik-praktik ritual atau tradisi lokal, sebab hal tersebut dikatagorikan sebagai bagian dari bid’ah, takhayyul, khurafat dan syirik yang bertentangan dengan Islam. Padahal ritual merupakan praktik yang dilakukan sebagai ekspresi pemahaman tentang Alquran dan hadis.

5. Pemikiran Hukum A. Hassan Terhadap Kelompok Islam Tradisionalis

A. Hassan dalam perdebatan-perdebatan yang dilakukannya dengan para pemimpin muslim tradisionalis pada era 1930-an menentang Islam tradisonalis sebagai sebuah masalah bagi kesehatan umat Islam dengan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak mampu menyesuaikan diri dengan cara-cara berfikir baru dan keras kepala dalam menentang upaya-upaya pembaruan fundamental.

A. Hassan dengan didukung oleh beberapa penulis lainnya, memberikan pandangan mendasar dan kerangka teoritik mengenai hal-hal yang terkait dengan kelompok tradisionalis.

a. Talkin

Talkin pada saat penguburan merupakan ritual yang tidak bermanfaat sehingga kaum muslim harus meninggalkannya. Dalam praktik ini, seseorang membacakan seluruh doktrin terpenting Islam sedemikian rupa sehingga almarhum akan siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat yang dikirim untuk menanyakannya.

Dalam salah satu fatwa mengenai persoalan ini, A. Hassan menyatakan Talkin tidak ada dalam Alquran, juga tidah dikukuhkan oleh hadis dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tidak pula disebutkan sebagai upacara yang absah oleh satupun dari empat pendiri mazhab fiqh[25]. Dia menyatakan bahwa seluruh hadis yang diperkenalkan oleh kelompok-kelompok tradisionalis untuk mendukung pandangan mereka adalah dhaif jika diuji menurut aturan-aturan ilmu hadis. Oleh karena itu tidak boleh dipakai dasar hukum bagi praktik keagamaan.

Dalam fatwa kedua A.Hassan menyatakan dengan jelas beberapa prinsip yang berkaitan dengan maslah talkin ini, yaitu :

1. Alquran menjelaskan bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat diajari apapun.
2. Ulama bidang pengumpulan dan pengujian hadis menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis sahih yang menjadi dasar hukum talkin.
3. Mengajar orang sudah meninggal dunia bukan hanya ditolak oleh agama, bahkan menurut nalar, hal itu dapat dianggap sebagai tindakan orang gila.
4. Menurut dalil naqli, ketika seorang sekarat maka taubatnya tidak akan diterima, maka bagaimana mungkin ajaran-ajaran dari seseorang yang masih hidup kepada seseorang sudah meninggal di kuburan memiliki keabsahan[26].

A. Hassan mengutip QS. Al-Naml :80 dan Fathir :22 yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah di dalam kubur mendengar, sebagi bukti bahwa mayat hanya dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat berdasarkan amal mereka ketika hidup di dunia. Orang yang sudah meninggal tidak dapat diajari atau diingatkan tentang ajaran keagamaan apapun.

b. Pengucapan Niat Pada Permulaan Shalat

A. Hassan menyatakan bahwa membaca niat sebelum memulai shalat lima waktu hanya diperbolehkan oleh sebagian ulama mazhab Syafi’i, tetapi Imam Syafi’i sendiri tidak pernah melakukan praktik tersebut. A. Hassan menyerang argumen yang menyatakan bahwa pengucapan niat dapat membantu kekhusuan karena menyatukan hati dengan bibir, beliau menyatakan bahwa hatilah yang menggerakkan bibir, bukannya bibir yang menggerakkan hati[27].

A. Hassan juga menolak argumen bahwa pembacaan niat dibenarkan dengan qiyas dari contoh Nabi Muhammad yang mengulangi niat ketika melaksanakan ibadah haji. Alasannya adalah bahwa hadis yang melaporkan tindakan Nabi tersebut adalah dhaif dan bahwa qiyas, meskipun absah di beberapa bidang pemikiran hukum selain soal aqidah dan ibadah karena tidak ada qiyas dalam ibadah, ibadah hanya dapat ditetapkan berdasarkan Alquran dan Hadis[28].

Dari pemikiran-pemikiran A.Hassan di atas didasarkan pada pandangan beliau bahwa kebenaran Islam akan tercapai ketika paradigma ummat dikembalikan kepada Alquran dan Hadis. Praktik keagamaan yang didasarkan pada akar budaya seperti ushalli, tahlil, dzibaan al- barjanji dan talqin dikatagorikan sebagai bagian dari bid’ah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

6. Pemikiran Hukum A.Hassan Bidang Ekonomi (Riba, Bunga Bank)

Dalam hubungannya dengan hukum riba dan praktik perekonomian modern yang berkembang, A.Hassan memandang hal tersebut sah asalkan tidak berlipat ganda. Keuntungan yang diambil dalam praktik perbankan dan lembaga ekonomi modern pada umumnya dapat diterima akal sehat dan tidak termasuk kategori berlipat ganda. Kecaman Nabi dalam praktik riba adalah kontrol terhadap praktik perekonomian agar tidak menyimpang dari batasan-batasan syariat agama.

Selaras dengan pemikiran muslim modernis di dunia Arab, A.Hassan melihat lembaga-lembaga keuangan yang ada sesuai dengan Islam. A. Hassan mendefinisikan riba hanya sebagai keuntungan yang berlebihan dan menyatakan bahwa bunga yang diperoleh dari bank dan koperasi adalah layak dan tidak seharusnya dianggap riba. Dalam sebuah fatwa tentang koperasi dinyatakan bahwa pemberlakuan aturan tentang riba kemungkinan besar disebabkan oleh praktik yang lazim di Arabia pra-Islam, jumlah bunga yang berlipat ganda diminta ketika memperpanjang jangka waktu peminjaman. Jumlah seratus dirham menjadi dua ratus dirham dan seterusnya, hingga beberapa kali lipat[29]. Fatwa tersebut mengungkapkan bahwa praktik semacam ini dapat dengan mudah menimbulkan hilangnya kekayaan yang luar biasa besar di pihak peminjam. Dan karena menilai bahwa kehilangan semacam ini tidak adil, Nabi melarang praktik-praktik semacam ini.

Fatwa yang berjudul “Mengembalikan Jumlah Yang Lebih Besar Daripada Yang Dipinjam”, fatwa ini menentang tentang kesahihan hadis yang digunakan oleh kelompok-kelompok muslim tradisionalis untuk mendukung pandangan tentang riba. Hadis itu menyatakan bahwa pengembalian pinjaman berupa benih padi adalah dengan padi yang sama tanpa ada penambahan, dan bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan masa depan (yaitu keberhasilan panen berikutnya). Hadis itu tidak sahih sebab syarat-syaratnya tidak mungkin dipenuhi, karena seseorang yang meminjam benih padi tidak mungkin dapat mengembalikan benih padi yang sama setelah panen berikutnya. Fatwa ini juga menolak hadis-hadis lain yang diajukan oleh kelompok muslim tradisionalis sebagai dasar pandangan mereka tentang riba, karena hadis-hadis itu bertentangan antara satu dengan lainnya[30].

Kaum muslim diperbolehkan menggunakan bank-bank modern dan menerima bunga yang diberikan bank-bank itu atas tabungan mereka. Seorang muslim dianggap lalai terhadap kewajiban-kewajibannya jika tidak mau menerima bunga dari bank, dan menyatakan bahwa jika seseorang menganggap bunga bank itu tidak bersih, maka biarkanlah dia memberikannya ke panti asuhan atau sekolah[31].

Dari pemikiran di atas, A.Hassan menyerukan tajdid (pembaruan) terhadap praktik sosial keagamaan lama yang dianggap telah menyimpang dan mengarah kepada kemunduran karena telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami ayat-ayat riba dan kekeliruan dalam mensahihkan hadis-hadis tentang riba, oleh karena itu harus diperbarui dengan kembali kepada petunjuk Alquran dan Hadis secara benar.

7. Penutup

A. Hassan memiliki karakter pemikir pembaharu (mujaddid) yang banyak menentang praktik keagamaan tradisional.

Melihat apa yang dibaca serta gagasan dan pemikirannya, jelas sekali bahwa A.Hassan dipengaruhi oleh pemikiran gerakan salafi. Yang dimaksud dengan gerakan salafi adalah gerakan dan pemikiran yang menyandarkan seluruh gagasannya pada Alquran dan Hadis atau disebut dengan ahlul hadis.

A. Hassan sebagai pioner Persis menganggap bahwa ulama tradisional telah meninggalkan Alquran dan Hadis dan telah melakukan penafsiran-penafsiran dan penentuan hukum secara tidak benar. Kesalahan dalam penggunaan dasar hukum Islam tersebut telah mengakibatkan banyaknya praktik keagamaan yang mengandung bid’ah dan mulhidah (sesat), khususnya dalam amal ibadah.

Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber hukum tersebut juga tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep muamalah dan jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan konstitusi dari Tuhan yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

A. Hassan merupakan ideolog Persis yang paling keras, radikal dan paling berpengaruh. Dia bahkan berhasil menentukan karakter dan identitas pemikiran Persis di hadapan organisasi keislaman lain.



DAFTAR PUSTAKA

A. Hassan, At-Tauhid, Bangil: 1941.

A. Hassan, Pemerintahan Cara Islam, Toko Timoer, 1946.

A. Hassan, Soal Jawab Jilid I s.d. XIII

Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politis : Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1977.

Howard M. Federspiel, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996

Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim; Pencarian dan Pergulatan Persis di Era kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Jakarta : Serambi, 2004

M. Mukhsin Jamil, dkk. Nalar Islam Nusantara; Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi dan NU, Cirebon : Fahmina Instute, 2008

Nina M Armando, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Reuben Levy, The Social Structure of Islam, Cambridge, 1957.

Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal, PT. Bina Ilmu, 1994.

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta, 1972

Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, 2002









[1]Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politis : Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis,(PT. Remaja Rosda Karya, 1977), hal. 19

[2] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal (PT. Bina Ilmu, 1994) hal.11

[3] M. Mukhsin Jamil , dkk. Nalar Islam Nusantara; Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi dan NU ( Fahmina Instute, 2008) hal. 192.

[4] Syafiq. A. Mughni, op.cit, hal. 12

[5] Lihat tulisan Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709;



[6] Syafiq A. Mughni, op.cit, hal.13

[7] Ibid, hal. 14-15

[8] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (gajah Mada University Press, 1996) hal.24.

[9] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia ( Djambatan, 2002) h.372

[10] Syafiq A. Mughni, op.cit, hal.20

[11] M.Mukhsin jamil dkk, op.cit, h.200

[12] Ibid

[13] A. Hassan, At-Tauhid (Bangil, 1941) h.60

[14] A. Hassan, Pemerintahan Cara Islam (Toko Timoer, 1946) h.8

[15] A. Hassan, op.cit, h.67

[16] Reuben Levy, The Social Structure of Islam (Cambridge, 1957), h.260

[17] Soal Jawab VII hal.7

[18] Soal Jawab h. 12

[19] Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, 1972) h.207

[20] Pembela Islam, h.39

[21] Sual jawab III, h.15

[22] A. Hassan, op.cit, h.50.

[23] Soal Jawab I, h.21-22

[24] Soal Jawab II, h.21-22

[25] Soal Jawab I, h.21

[26] Soal Jawab II, h.14

[27] Soal Jawab I, h.11

[28] Ibid, h.12

[29] A.Hassan, Kitab Riba, Bandung, 1932

[30] Al-Muslimun, Maret 1955, h.7

[31] Sual Jawab XIII, h.72-73.

Terakhir Diperbaharui (Senin, 15 Februari 2010 09:45)